Apa Saja Hakikat Iman?

9 menit waktu membaca

Daftar Isi

Hakikat Iman

1. Iman itu berupa ucapan dan amalan. Ucapan hati dan lisan, amalan hati, lisan, serta anggota tubuh

  • Ucapan hati: keyakinan, pembenaran, dan penerimaannya.
  • Ucapan lisan: melafalkan kalimat Islam dan menyatakan dua kalimat syahadat.
  • Amalan hati: tindakannya terkait niat dan keinginan, seperti cinta, takut, rasa harap, dan tawakal.
  • Amalan lisan: berzikir, berdoa, dan tilawah.
  • Amalan anggota tubuh: tindakannya dalam melakukan berbagai macam ibadah badan.

Allah Ta’ālā berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal, (yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfāl: 2-4)

Dan Dia berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwanya di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. Al-Ḥujurāt: 15)

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Iman itu ada tujuh puluhan -atau enam puluhan- cabangnya. Cabang yang paling afdal adalah ucapan ‘Lā ilāha illallāh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Adapun malu merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Lafal ini milik Muslim)[1]

Jadi, iman itu memiliki hakikat yang terdiri dari ucapan dan amalan. Keimanan adalah pembenaran yang harus direalisasikan dengan ucapan dan amalan. Kalau tidak ada ucapan dan amalan maka itu berarti menjadi dalil tidak adanya pembenaran (dalam hati).

2. Lafal iman

Ketika lafal iman berdiri sendiri maka dia sama maknanya dengan lafal Islam, karena masing-masing dari keduanya berarti agama secara keseluruhan. Namun jika kedua lafal itu disebutkan bergandengan, maka iman berarti keyakinan di dalam hati, sementara Islam berarti amalan lahiriah. Jadi, setiap mukmin adalah muslim, dan tidak setiap muslim itu mukmin.

Allah Ta’ālā berfirman,

“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalanmu. Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ḥujurāt: 16)

3. Iman itu bertambah dan berkurang

Iman bertambah dengan pengetahuan terhadap Allah, memikirkan ayat-ayat kauniah-Nya, menadaburi ayat-ayat syar’i-Nya, melakukan ketaatan, dan meninggalkan kemaksiatan. Iman berkurang dengan kebodohan terhadap Allah, lalai memperhatikan ayat-ayat kauniah-Nya, berpaling dari ayat-ayat syar’i-Nya, meninggalkan ketaatan, dan melakukan perbuatan buruk. Allah Ta’ālā berfriman,

“Dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya.” (QS. Al-Anfāl: 2)

 “Adapun orang-orang yang beriman, maka surah ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)

 “Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada).” (QS. Al-Fatḥ: 4)

4. Iman itu bertingkat-tingkat

Sebagian cabang keimanan itu lebih tinggi dari sebagian yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas,

“Iman itu ada tujuh puluhan -atau enam puluhan- cabangnya. Cabang yang paling afdal adalah ucapan ‘Lā ilāha illallāh,’ dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri dari jalan. Malu merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Lafal ini milik Muslim)[2]

5. Orang yang beriman itu juga bertingkat-tingkat

Sebagian orang lebih sempurna imannya dibanding sebagian yang lain, sebagaimana firman Allah Ta’ālā,

“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri sendiri, ada yang pertengahan, dan ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan  dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang besar.” (QS. Fāṭir: 32)

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi)[3]

Orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat dengan meyakini maknanya dan melaksanakan tuntutannya maka dia sudah mendapatkan dasar keimanan. Orang yang melakukan berbagai kewajiban, meninggalkan berbagai hal yang diharamkan maka berarti dia sudah mendapatkan keimanan yang wajib. Orang yang melakukan berbagai kewajiban, anjuran (sunnah), dan meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan maka berarti dia sudah mendapatkan keimanan yang sempurna.

6. Istiṡnā` (pengecualian) dalam keimanan

Yaitu apabila seseorang mengucapkan, “Saya mukmin insya Allah (jika Allah menghendaki).” Dalam hal ini terdapat tiga kondisi:

Pertama, jika dia mengucapkannya karena ragu dengan dasar keimanan, maka pengecualian di sini haram hukumnya, bahkan bisa sampai pada kekufuran, karena keimanan itu merupakan suatu kemantapan dalam hati.

Kedua, jika dia mengucapkannya karena takut menilai dirinya bersih dengan klaim telah merealisasikan keimanan yang wajib atau sempurna, maka di sini hukumnya wajib (untuk mengucapkan pengecualian tersebut).

Ketiga, jika dia mengucapkannya karena ingin mendapatkan berkah dengan menyebutkan “kehendak Allah”, maka pengecualian di sini hukumnya boleh.

7. Status keimanan seseorang tidak otomatis hilang karena melakukan maksiat dan dosa besar

Namun perbuatan maksiatnya tersebut mengurangi keimanannya meskipun dasarnya masih ada. Orang yang melakukan dosa besar adalah seorang mukmin yang berkurang keimanannya. Dia mukmin dengan keimanannya dan fasik dengan dosa besar yang dilakukannya, dia tidak keluar dari agama ini di dunia, dan tidak kekal di neraka di akhirat, tetapi kondisinya berada di bawah kehendak Allah. Jika Allah berkehendak maka Dia akan mengampuninya dengan karunia dan rahmat-Nya, kemudian Dia akan memasukkannya ke surga. Dan jika Dia berkehendak maka Dia akan mengazabnya sesuai dengan dosanya, dan tempat kembalinya adalah ke surga. Atau Allah akan mengazabnya sesuai dengan sebagian dosanya kemudian dia keluar karena adanya syafaat dari orang-orang yang berhak memberikan syafaat, atau karena rahmat dari Allah yang Maha Penyayang. Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisā`: 148)

Dan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu masuklah penduduk surga  ke dalam surga, dan penduduk neraka ke dalam neraka, kemudian Allah Ta’ālā berfirman, ‘Keluarkanlah (dari neraka) orang-orang yang memiliki keimanan di dalam hatinya meskipun sebesar biji zarah.’ Maka mereka pun dikeluarkan dalam keadaan sudah hitam. Kemudian mereka dimasukkan ke sungai Al-Ḥayā atau Al-Ḥayāt (kehidupan).” (HR. Bukhari)[4]

Dan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Akan keluar dari neraka orang-orang yang mengucapkan Lā ilāha illallāh dan di dalam hatinya ada kebaikan meskipun seberat satu biji sya’īr (gandum). Akan keluar dari neraka orang-orang yang mengucapkan Lā ilāha illallāh dan di dalam hatinya ada kebaikan meskipun seberat satu biji burr (salah satu jenis gandum). Akan keluar dari neraka orang-orang yang mengucapkan Lā ilāha illallāh dan di dalam hatinya ada kebaikan meskipun seberat satu zarah.” (HR. Bukhari)[5] Dalam riwayat lain disebutkan “keimanan”[6] sebagai ganti kata “kebaikan.”

Dalam masalah ini, terdapat dua golongan yang tersesat, yaitu:

Pertama: Al-Wa’īdiyyah

Mereka adalah orang-orang yang berpendapat tentang keharusan melaksanakan ancaman (oleh Allah), mengingkari syafaat terhadap pelaku dosa besar dari kalangan orang-orang bertauhid yang bermaksiat. Mereka ini terdiri dari dua kelompok:

  1. Khawarij

Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar keluar dari keimanan dan masuk ke dalam kekufuran. Jadi, dia itu kafir di dunia dan kekal di neraka di akhirat kelak.

  1. Muktazilah

Mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar keluar dari keimanan, tetapi tidak masuk ke dalam kekufuran. Jadi, dia berada di suatu posisi antara dua posisi di dunia ini, bukan mukmin dan bukan juga kafir. Dan dia kekal di neraka di akhirat nanti.

Bantahan terhadap Al-Wa’īdiyyah adalah sebagai berikut:

a. Sesungguhnya Allah Ta’ālā telah menetapkan adanya keimanan dan tetap menyandangkan sifat persaudaraan dalam keimanan terhadap pelaku dosa besar di dunia ini, sebagaimana firman-Nya,

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) kisas  berkenaan dengan orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barang siapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan cara yang baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula).” (QS. Al-Baqarah: 178)

Di sini Allah menyebut pembunuh sebagai saudara bagi korban pembunuhan. Juga sebagaimana firman-Nya,

“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Ḥujurāt: 9-10) Di sini Allah menisbahkan keimanan kepada dua kelompok yang berperang, dan menetapkan untuk keduanya persaudaraan iman.

b. Bahwasanya Allah mengampuni dosa selain kesyirikan bagi orang yang dikehendaki-Nya, dan mengeluarkan dari neraka orang-orang yang memiliki keimanan lebih ringan dari biji sawi, sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis syafaat yang mutawaitr.

Kedua: Murji`ah

Mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan irja` terhadap amalan, maksudnya mengakhirkannya (mengeluarkannya) dari nama iman. Amalan menurut mereka tidak masuk dalam pengertian iman dan hakikatnya. Dalam memberikan pengertian terhadap iman, mereka terbagi dalam beberapa kelompok:

  1. Jahmiyah: Iman adalah pembenaran hati atau pengetahuan hati saja. Jadi, dosa tidak merusak keimanan sebagaimana halnya ketaatan tidak akan bermanfaat jika disertai kekufuran.
  2. Karrāmiyyah: Iman adalah ucapan lisan saja.
  3. Murji`ah ahli fikih: Iman adalah pembenaran hati dan ucapan lisan saja. Adapun amalan maka tidak masuk dalam pengertian iman dan hakikatnya, tetapi amalan adalah buah dari keimanan.

Bantahan terhadap sekte Murji`ah ini dari beberapa sisi, yaitu:

a. Bahwasanya Allah menamakan amalan itu dengan iman. Allah berfirman terkait orang yang salat ke Baitulmaqdis dan meninggal sebelum perubahan arah kiblat, “Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.” (QS. Al-Baqarah: 143). Maksudnya “salatmu.”

b. Bahwasanya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menafikan keimanan mutlak dari pelaku perbuatan dosa besar. Beliau bersabda, “Tidaklah seseorang itu berzina ketika sedang berzina sedangkan dia dalam keadaan mukmin. Tidak pula seseorang itu minum khamar ketika sedang minum khamar sedangkan ia dalam keadaan mukmin. Dan tidak pula seseorang itu mencuri ketika sedang mencuri sedangkan ia dalam keadaan mukmin. Dan tidaklah seseorang merampas harta yang memiliki kemulian yang karenanya orang-orang memandangnya sebagai orang yang terpandang ketika dia merampas harta tersebut sedangkan ia dalam keadaan mukmin.” (Muttafaq ‘alaihi)[7]

Sumber kerusakan pendapat kedua kelompok ini; Wa’īdiyyah dan Murji`ah adalah keyakinan mereka bahwa keimanan itu ada satu saja. Bisa jadi dia ada secara keseluruhan atau tidak ada secara keseluruhan. Adapun Murji`ah yang menetapkan keimanan hanya sekadar pengakuan dengan hati, atau lisan, atau keduanya sekaligus meskipun pelakunya tidak beramal sama sekali, maka mereka ini termasuk golongan tafrīṭ (bermudah-mudahan). Sementara itu Wa’īdiyyah menafikannya dengan dosa besar yang paling rendah sekalipun, maka mereka ini adalah golonga ifrāṭ (berlebih-lebihan). Mukadimah keyakinan keduanya satu, tetapi hasilnya saling bertolak belakang.

Baca Setelahnya…

Baca Sebelumnya…

Catatan Kaki

Catatan Kaki
1 HR. Bukhari nomor 9, dan Muslim nomor 35, dari hadis Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu.
2 HR. Bukhari nomor 9, dan Muslim nomor 35, dari hadis Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu.
3 HR. Ahmad nomor 7402, Abu Daud nomor 4682, dan Tirmizi nomor 1162, dari hadis Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu.
4 HR. Bukhari nomor 22 dari hadis Abu Sa’id Al-Khudriy raḍiyallāhu ‘anhu.
5 HR. Bukhari nomor 44 dari hadis Anas raḍiyallāhu ‘anhu.
6 Bukhari menyebutkannya setelah riwayat di atas dengan redaksi mu’allaq secara tegas.
7 HR. Bukhari nomor 2475, dan Muslim nomor 57, dari hadis Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu. Lafal ini milik Muslim.
Ditulis oleh Ustaz Muhammad Thalib, MA
Diambil dari website: mutiaradakwah.com
Print Artikel

Berlanggan Artikel Mutiara Dakwah

Berlangganlah secara gratis untuk mendapatkan email artikel terbaru dari situs ini.

Trending
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email

Tambahkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Agama dan Manhaj
Muhammad Thalib, MA

Agama dan Manhaj

Agama dan Manhaj Agama Allah itu satu, yaitu Islam. Allah berfirman, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS. Āli ‘Imrān: 19). Ini adalah agama Allah untuk orang-orang terdahulu sampai

Baca Selengkapnya »
Apa Saja Penyempurna Akidah?
Muhammad Thalib, MA

Apa Saja Penyempurna Akidah?

Penyempurna Akidah 1. Amar makruf dan nahi munkar Allah Ta’ālā berfirman, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari

Baca Selengkapnya »

Apakah Anda Ingin Meningkatkan Bisnis Anda?

Tingkatkan dengan cara beriklan

Formulir anda berhasil dikirim, terimakasih

join mutiara dakwah

Subscribe agar anda mendapatkan artikel terbaru dari situs kami

join mutiara dakwah

Subscribe agar anda mendapatkan artikel terbaru dari situs kami

Hukum Shalat Memakai Masker Saat Pandemi Covid-19 Setiap Amalan Tergantung Niatnya Keutamaan Mempelajari Tafsir Alquran Mengkhatamkan Al-Qur`an Sebulan Sekali Pelajari Adab Sebelum Ilmu Kenapa Kita Harus Belajar Fikih Muamalat? Tata Cara Wudhu Yang Benar Pembagian Tauhid dan Maknanya Hukum Belajar Bahasa Inggris Kisah Rasulullah Hijrah Ke Madinah Mengajak Orang Lain Berbuat Baik, Tapi Lupa Diri Sendiri