Semua ulama sepakat bahwa kaum muslimin wajib berpegang teguh pada Al-Qur`an dan sunah. Demikian juga wajib mengembalikan segala permasalahan yang diperselisihkan kepada keduanya, serta menolak semua pendapat yang menyelisihi keduanya. Sebagaimana firman Allah Ta’ālā:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (An-Nisā`: 59).
Pengertian Taqlid
Kita menyadari bahwa tidak semua umat Islam mampu untuk mengambil dalil langsung dari Al-Qur`an dan sunnah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Orang-orang yang tidak bisa mengambil dalil langsung dari kedua sumber tersebut maka hendaknya dia bertanya kepada alim ulama dan mengikuti apa yang mereka sampaikan. Inilah yang dinamakan dengan taklid.
Jadi, taqlid adalah tindakan seseorang mengambil atau mengamalkan pendapat seorang ulama tanpa mengetahui langsung dalilnya.
Hukum Taqlid Dalam Beragama
Ketika ditanya tentang taqlid bagi seorang penuntut ilmu, Syekh Muhammad bin Ṣālih Al-‘Uṡaimin memberikan arahan bahwa seorang pentunt ilmu yang belum bisa menggali dalil langsung dari sumbernya maka sebaiknya dia bertaqlid kepada ulama, baik ulama dahulu maupun ulama sekarang. Berikut petikan pertanyaan dan jawaban yang beliau sampaikan.
Pertanyaan:
Apa pengarahan dan saran dari anda wahai Syekh -semoga Allah Ta’ālā selalu menjaga anda- untuk para penuntut ilmu yang masih pemula, apakah mereka harus mengikuti seorang imam dari beberapa imam madzhab, atau mereka keluar dari imam madzhab tersebut?
Jawaban: Allah ‘Azza wa jalla telah berfirman:
فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiyā`: 7).
Maka jika seandainya ia adalah penuntut ilmu yang baru, di mana ia belum mengerti bagaimana cara mengeluarkan dalil-dalil yang ada, maka tidak ada cara lain baginya kecuali dengan bertaqlid, baik dengan mengikuti imam-imam terdahulu yang telah meninggal, atau mengikuti imam-imam zaman sekarang, dan bertanya kepadanya. Inilah jalan yang terbaik baginya.
Akan tetapi, jika penuntut ilmu tersebut telah mengetahui bahwasanya perkataan imam yang ia ikuti tersebut bertentangan dengan dalil-dalil yang sahih, maka wajib baginya untuk mengikuti dalil-dalil yang sahih tersebut.
Di antara bentuk-bentuk taqlid yang dilarang dalam beragama adalah:
- Taqlid (mengikuti) nenek moyang dan berpaling dari wahyu (dalil-dalil dari Al-Qur`an dan hadis yang sahih)
Allah berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا وَجَدْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا ۚ أَوَلَوْ كَانَ الشَّيْطَانُ يَدْعُوهُمْ إِلَىٰ عَذَابِ السَّعِيرِ
“Apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah’, mereka menjawab, ‘(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya.’ Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun setan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?” (QS. Luqmān: 21)
- Taqlid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya dalam agama
Allah berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Isrā`: 36)
- Taqlid setelah mengetahui adanya dalil yang menyelisihi pendapat orang yang diikuti. Ini berdasarkan firman Allah dalam surah An-Nisā`: 59 sebagaimana sudah disebutkan di awal artikel ini.
Hal-hal yang Yidak Termasuk Taqlid
Tidak semua perkataan orang lain yang kita ikuti dinamakan taqlid, ada beberapa keadaan di mana kita mengikuti perkataan orang lain, tetapi tidak dinamakan taqlid.
Di bawah ini adalah bentuk-bentuk mengikuti perkataan orang lain yang tidak digolongkan sebagai taqlid:
1. Mengikuti perkataan orang lain karena mengamalkan firman Allah Ta’ālā. Ini tidak dinamakan taqlid, karena firman Allah Ta’ālā merupakan hujjah. Banyak hujjah-hujah nyata yang menunjukkan kewajiban beriman kepada Allah Ta’ālā dan kitab suci-Nya.
2. Mengikuti perkataan orang lain karena mengamalkan sabda Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam; karena sabda beliau merupakan hujjah. Allah Ta’ālā telah memerintahkan untuk mengikuti Rasul-Nya di dalam banyak ayat di dalam Al-Quran
3. Mengamalkan pendapat yang merupakan ijmak (kesepakatan ulama); karena pengamalan ini berdasarkan hujjah, maksudnya Al-Qur`an dan Sunah mewajibkan kaum muslimin mengamalkan ijma.
4. Seorang qāḍi (hakim) menerima dan menghukum berdasar persaksian para saksi yang adil. Karena menghukumi dengan dasar persaksian para saksi yang telah memenuhi rukun dan syarat, telah ditunjukkan oleh Al-Qur`an, Sunah, dan ijmak.
5. Orang awam yang mengamalkan fatwa seorang mufti, karena hal ini berdasarkan hujjah. Yaitu ijmak ulama tentang kewajiban orang awam merujuk ke mufti dalam masalah yang dia butuhkan (sebagaimana yang telah dijelaskan).
6. Mengamalkan riwayat dari perawi, karena hal ini berdasarkan hujjah. Yaitu dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban mengamalkan riwayat yang benar.
7. Mengamalkan perkataan sahabat, jika tidak ada sahabat lain yang menyelisihinya. Karena perkataan sahabat yang tidak menyelisihi Al-Quran, Sunah serta tidak menyelisihi perkataan Sahabat yang lain merupakan hujjah, menurut pendapat yang rajih (kuat).
Semoga artikel kali ini tentang “Bolehkah Taqlid dalam Beragama dan Menuntut Ilmu?” bermanfaat untuk kita semua.