Beberapa hari yang lalu, tepatnya hari Kamis (15/04/2021), Presiden Jokowi secara resmi meluncurkan Gerakan Cinta Zakat di Istana Negara, Jakarta. Tidak lama setelahnya, ketua Baznas, Prof. Dr. KH. Noor Achmad, MA, kembali menghangatkan wacana pemotongan zakat dari gaji ASN Muslim melalui Perpres. Dia mengatakan, “Yang diwacanakan dengan Perpres itu gaji PNS, Pegawai BUMN, TNI, Polri yang sudah sampai satu nishab dalam satu tahun atau setara dengan 85 gram emas dipotong 2,5% dilakukan per bulan saat gajian.” Dia memperkirakan bahwa PNS yang bergaji Rp. 7 juta menjadi target dari Perpres yang diusulkan tersebut. “Kira-kira segitu, gajinya sebulan di situ. Kalau gajinya hanya Rp 5 juta sampai Rp 6 juta tidak (berlaku), belum sampai (untuk dipotong zakat final 2,5%),” . Apa yang wacanakan oleh ketua Baznas ini sepertinya mengabaikan syarat haul dan kriteria nishab zakat yang dibahas para ulama dalam kajian-kajian fikih mereka.
Tinjauan Fikih
Pada dasarnya, tidak ada kewajiban zakat maal (harta) seorang muslim sampai memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam agama. Di antara syaratnya adalah harta tersebut sudah tersimpan selama satu tahun (haul) dan sudah cukup nishabnya, yang nilainya setara dengan harta 85 gram emas.
Jika seseorang memiliki harta yang sudah mencapai satu nishab dan harta tersebut tersimpan selama satu tahun hijriyah (haul), kemudian selama satu tahun tersebut nilainya tidak pernah berkurang dari satu nishab, maka ketika itulah terdapat kewajiban bagi pemiliknya sebanyak 2,5%.
Jika dalam satu tahun tersebut terdapat penambahan uang yang sumbernya bukan dari pengembangan uang simpanan tersebut, tetapi berasal dari pos lainnya -seperti dia mendapatkan gaji bulanan, kemudian gaji itu digabungkannya dengan simpanannya,- maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat terkait penentuan haul zakat uang tambahan tersebut, atau yang lebih dikenal dengan almaal almustafaad (Lihat Nawaazil Az-Zakaah, 280).
Pendapat pertama, haulnya berdiri sendiri yang dihitung semenjak uang gaji tersebut diterimanya, tidak digabungkan dengan haul uang yang sudah disimpan. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, Hanbali, dan Zhahiri. Mereka berdalil dengan keumuman hadis yang sahihkan oleh Imam Nawawi, “Tidak ada kewajiban zakat dalam harta sampai sempurna haulnya.” (HR Ibnu Majah). Juga berdasarkan atsar yang diriwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, “Siapa yang mendapatkan harta, maka tidak ada kewajiban zakatnya sampai berlalu haulnya di pemilikinya.” (HR. Tirmizi dan Baihaqi).
Dengan demikian, berdasarkan pendapat jumhur ulama ini, maka haul gaji yang didapat oleh pegawai itu dihitung berdasarkan tanggal penerimaannya, tidak digabungkan dengan haul tabungan yang sudah sampai nishabnya. Maka gaji yang didapat pada bulan Muharram, haulnya dihitung mulai dari tanggal penerimaan gaji tersebut, demikian juga dengan gaji bulan Shafar, dan seterusnya.
Namun demikian, karena penghitungan haul seperti itu akan menyusahkan pemiliknya, dan bisa jadi pemilikinya sering lupa, maka jumhur ulama memberikan solusi dengan menetapkan satu waktu dalam setahun di mana gajinya tersebut sudah terkumpul kemudian pemiliknya mengeluarkan zakatnya. Jika zakat yang dikeluarkan tersebut memang berasal dari gaji bulanan yang sudah sampai satu tahun pada saat pengeluaran zakatnya, maka berarti dia sudah membayarkan zakat pada waktunya; dan jika zakat yang dikeluarkan itu berasal dari gaji yang belum mencapai masa satu tahun, maka berarti dia mengeluarkan zakatnya sebelum waktunya, dan ini diperbolehkan dalam agama menurut jumhur ulama.
Sejalan dengan ini, jika seseorang memiliki tabungan yang jumlahnya belum sampai satu nishab, kemudian seiring berjalannya waktu, dia menambah terus tabungan itu dengan gaji bulanan yang disimpannya sedikit demi sedikit, sehingga pada suatu waktu tertentu, misalnya bulan Ramadhan 1442H, nilai tabungannya mencapai satu nishab, maka semenjak Ramadhan itu dimulai penghitungan haul tabungannya, dan juga haul untuk gaji-gaji yang akan diterimanya pada bulan berikutnya. Dengan demikian, maka pada Ramadhan tahun 1443 H, harta tersebut sudah wajib untuk dikeluarkan zakatnya.
Pendapat ini sejalan dengan fatwa MUI nomor 3 tahun 2003 terkait zakat penghasilan yang pada saat itu diketuai oleh Bapak K.H. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden kita saat ini. Dalam poin keputusan tentang hukum disebutkan, “Semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram.” Kemudian, dalam poin fatwa keputusan tentang waktu pengeluaran zakat disebutkan, “(1) Zakat penghasilan dapat dikeluarkan pada saat menerima jika sudah cukup nishab. (2) Jika tidak mencapai nishab, maka semua penghasilan dikumpulkan selama satu tahun; kemudian zakat dikeluarkan jika penghasilan bersihnya sudah cukup satu nishab.”
Pendapat kedua, haulnya digabungkan dengan uang yang sudah mencapai nisabnya. Ini merupakan pendapat mazhab Hanafi. Mereka berpendapat bahwa selama gaji bulanan itu masih merupakan satu jenis dengan harta simpanan (sama-sama uang atau emas) maka haul zakatnya disamakan dengan harta simpanan yang sudah mencapai nisabnya.
Dalam hal ini, pendapat jumhur ulama lebih kuat berdasarkan dalil yang ada.
Pemotongan Zakat Dari Gaji 7 Juta Rupiah
Kembali pada wacana yang disampaian oleh ketua Baznas di atas, di mana akan dilakukan pemotongan untuk zakat dari ASN yang bergaji 7 juta rupiah, yang berarti bahwa zakat tersebut akan dipotong dari penghasilan kotor (bruto) para ASN tanpa melihat kebutuhan harian mereka beserta kebutuhan anggota keluarga yang menjadi tanggungannya sehari-hari, juga tanpa melihat apakah muzakki tersebut memiliki utang atau tidak, serta tanpa memperhatikan apakah gaji itu sudah sampai nishabnya dan haulnya. Asumsi ini diperkuat dengan cara penghitungan zakat penghasilan yang disebarkan oleh Baznas sendiri, baik di pusat maupun di daerah. Dalam web resminya, Baznas memberikan contoh penghitungan sebagai berikut:
2,5% x Jumlah penghasilan dalam 1 bulan
Contoh:
Jika harga emas pada hari ini sebesar Rp800.000/gram, maka nishab zakat penghasilan dalam satu tahun adalah Rp68.000.000,-. Penghasilan Bapak Fulan sebesar Rp10.000.000/ bulan, atau Rp120.000.000,- dalam satu tahun. Artinya penghasilan Bapak Fulan sudah wajib zakat. Maka zakat Bapak Fulan adalah Rp250.000,-/ bulan.
Pemotongan zakat dari gaji kotor dengan nominal 7 juta rupiah dengan memukul rata semua ASN yang bergaji sebanyak itu atau lebih, bisa jadi merupakan sebuah bentuk kezaliman terhadap sebagian ASN. Apalagi kalau seandainya ASN tersebut belum memiliki uang simpanan yang sudah mencapai satu nishab dan haulnya.
Alangkah bijaknya, kalau pemotongan zakat tersebut tetap mempertimbangkan kondisi ASN dan tanggungan bulanannya, sehingga yang dipotong untuk zakat adalah sisa gajinya (gaji bersih); kemudian jika jumlah gaji bersih tersebut setelah dikalkulasikan dalam satu tahun mencapai satu nishab, maka ketika itu mungkin gaji mereka baru layak untuk dipotong zakatnya.
Sebagai contoh untuk ASN di Propinsi Sumatera Barat, jika kita mengambil biaya minimal bulanan seorang pegawai adalah sesuai dengan UMP (Upah Minimum Propinsi). UMP Sumatera Barat tahun 2021 adalah Rp2.484.041 per bulan. Berada diurutan ke 23 secara nasional, yang berarti bahwa UMP Sumatera Barat termasuk yang terendah di Indonesia. (https://bit.ly/2QlaD4J). Kalau dikalkulasikan, maka gaji bersih (netto) ASN dikurangi kebutuhan minimalnya sesuai UMP adalah: 7.000.000 – 2.484.041 = 4.515.959 per bulan. Angka ini dikalikan dengan 12 maka akan didapatkan hasil: 54.191.508. Kalau harga buyback emas hari ini adalah 840.000, maka nishab 85 gram emas setara dengan: Rp71.400.000,-. Maka berarti gaji ASN yang per bulannya 7 juta masih jauh di bawah nishab zakat per tahun. Ini baru kita ukur dengan UMP Sumatera Barat yang termasuk rendah di Indonesia. Artinya, kalau ini diukur dengan UMP propinsi lain seperti Jakarta atau lainnya yang lebih tinggi, maka tentu gaji bersih yang mereka miliki setelah dikurangi UMP jauh lebih rendah lagi.
Para ulama pengusung adanya zakat profesi pun menyatakan bahwa zakat itu diambil dari gaji bersih (netto) pegawai setelah dikeluarkan biaya hidup dan tanggungan sehari-hari beserta utang-utang muzakki. Di antaranya sebagaimana disebutkan oleh Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, “Jika kita memilih pendapat yang mewajibkan adanya zakat gaji dan upah lainnya, maka yang kita rajihkan (kuatkan) adalah bahwa zakat tersebut hanya diambil dari gaji netto. Kita mengatakan demikian supaya dikeluarkan dari gaji tersebut semua utang yang ada, dan juga biaya hidup minimal bagi muzakki serta biaya hidup orang-orang yang menjadi tanggungannya. Karena biaya hidup minimal tersebut merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan. Biaya minimal itu merupakan kebutuhan aslinya, sementara zakat itu hanya wajib pada harta yang nishabnya lebih dari kebutuhan asli.” Kemudian beliau melanjutkan, “Sisa bersih dari gaji setahun beserta pemasukan lainnya diambil zakatnya jika sampai nishabnya. Gaji dan upah yang dalam setahun tidak sampai nishab uangnya -setelah dikeluarkan kebutuhan yang kami sebutkan- seperti halnya gaji pekerja ataupun pegawai golongan bawah, maka tidak ada kewajiban zakatnya.” (Fiqhu Az-Zakaah: 517-518)
Oleh karena itu, jika memang Baznas ingin mengambil pendapat adanya zakat profesi dengan memotong zakat dari gaji pegawai setiap bulannya, maka hendaknya diperhatikan hal-hal berikut ini:
- Gaji yang dipotong untuk zakat adalah gaji netto yang jumlahnya dalam setahun mencapai nishab. Jumlah netto ini diukur dengan mengurangi kebutuhan pegawai dan keluarganya secara umum dalam setahun. Jadi jangan sampai keinginan kita untuk menyejahterakan kaum fakir miskin dengan zakat justru membuat para muzakkinya hidup dalam kekurangan setiap bulannya. Uang dua ratus ribu per bulan sangat besar artinya bagi masyarakat yang gajinya 7 juta perbulan.
- Penghitungan kebutuhan bulanan pegawai dan keluarganya bisa mengacu pada UMP masing-masing daerah, atau diputuskan oleh MUI setempat dengan mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakatnya. Meskipun demikian, tetap dibuka peluang bagi pegawai yang merasa keberatan dengan pemotongan zakat tersebut untuk mengajukan keberatannya kepada amil zakat dengan menyampaikan biaya hidup bulanan yang harus dikeluarkannya beserta utang-utang yang harus dibayarkannya.
Zakat tersebut sebaiknya tidak dipungut oleh pusat, tetapi diserahkan kepada Bazda atau LAZ di masing-masing daerah, karena mereka lebih mengetahui dengan kondisi masing-masing daerah. Ini juga sejalan dengan prinsip utama zakat itu sendiri, yang diambil dari masyarakat yang kaya dan diberikan kepada masyarakat miskin di daerah tersebut, sebagaiama disebutkan dalam hadis sahih ketika Nabi mengutus Mu’adz bin Jabal berdakwah ke Yaman, beliau berpesan, “Sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan sedekah (zakat) terhadap mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka, kemudian dikembalikan kepada orang-orang miskin mereka.” (HR. Bukhari). Wallahu a’lam bish shawaab.