Fase Pertama, Dakwah Sirriyah
Sebagai tempat kelahiran dan pertumbuhannya, maka kota Mekkah dijadikan Rasulullah ﷺ sebagai titik tolak dakwahnya.
Pada awalnya, metode dakwah yang dilakukan Rasulullah ﷺ bersifat sirriyyah (sembunyi-sembunyi). Ini berlangsung selama tiga tahun pertama dakwahnya. Hal tersebut karena kedudukan Rasulullah ﷺ yang masih lemah, ditambah isi dakwah beliau yang sangat bertolak belakang dengan keyakinan prinsip masyarakatnya yang penuh dengan nilai-nilai kesyirikan.
Masyarakat yang paling pertama beliau serukan ajaran Islam tentu saja adalah keluarga dan kenalan dekatnya, itupun beliau pilih hanya kepada mereka yang ada tanda-tanda kebaikan pada dirinya.
Usaha beliau tidak sia-sia. Pada hari-hari pertama dakwahnya terkumpul sejumlah orang yang menerima dakwahnya dengan penuh keyakinan dan penghormatan terhadap Rasulullah ﷺ. Merekalah yang dalam sejarah Islam dikenal sebagai As-Sābiqūnal Awwalūn (Generasi Pertama yang Menerima Islam).
Orang terdepan dari kelompok ini adalah istrinya sendiri, Ummul Mukminīn, Khadijah binti Khuwailid, kemudian budaknya, Zaid bin Haritsah, lalu sepupunya, Ali bin Abi Thalib, yang saat itu masih belia dan dirawat oleh Rasulullah ﷺ, kemudian sahabat dekatnya, Abu Bakar Aṣ-Ṣiddīq.
Abu Bakar Aṣ-Ṣiddīq, setelah masuk Islam, langsung turut serta berdakwah. Lewat usaha beliau ditambah perilakunya yang terpuji serta kedudukannya yang terhormat di tengah masyarakat, dakwahnya memberikan hasil dengan cepat.
Tak berapa lama, tercatatlah sejumlah orang yang masuk Islam lewat beliau, di antaranya: Uṣmān bin Affān, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqāṣ, Ṭalḥah bin Ubaidillah. Mereka juga digolongkan sebagai generasi pertama dari kalangan para sahabat dan yang banyak berperan dalam dakwah Rasulullah ﷺ berikutnya.
Kemudian, satu demi satu masyarakat Quraisy masuk Islam; seperti Bilal bin Rabah, Abu Ubaidah Amir bin Jarrah, Abu Salamah bin Abd Al-Asad, Arqam bin Abi Arqam, Uṣmān bin Maẓ’un, Fatimah binti Khattab (saudara perempuan Umar bin Khattab), Khabbab bin ‘Art, Abdullah bin Mas’ud dan lainnya.
Mereka semua masuk Islam secara sembunyi-sembunyi, karena Rasulullah ﷺ menyampaikan dakwahnya secara individu dan rahasia.
Sementara itu, wahyu terus diturunkan, umumnya pendekpendek, namun memiliki tekanan kuat untuk membersihkan hati dari berbagai kotoran duniawi, sangat sesuai dengan kondisi saat itu yang menuntut kelembutan hati dan jiwa. Selain itu, wahyu yang turun banyak menggambarkan tentang surga dan neraka, hingga seakan-akan terpampang di hadapan mata. Hal mana dapat menimbulkan kerinduan seseorang terhadap surga dan ketakutannya terhadap neraka.
Sedikit demi sedikit lahirlah ikatan hati yang kuat di antara mereka, kemudian lahirlah rasa ukhuwah dan tolong menolong sehingga semakin mengokohkan keimanan mereka.
Shalat
Ritual yang sejak awal mereka lakukan adalah ibadah shalat. Namun waktu itu shalat lima waktu belum ditetapkan. Yang mereka lakukan adalah shalat dua rakaat setiap pagi dan petang, sebagaimana firman Allah Ta’ālā:
وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ بِٱلْعَشِىِّ وَٱلْإِبْكَٰرِ…
” … dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.” (QS. Al-Mu`min: 55)
Hal itupun tetap mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui masyarakat.
Suku Quraisy Mendengar Berita
Meskipun dakwah tetap dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun lambat laun akhirnya berita tersebut sampai juga ke telinga orang-orang kafir Quraisy.
Pada awalnya mereka tidak terlalu menghiraukannya. Mereka menganggap apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ tak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh beberapa orang sebelumnya yang sekedar ingin menghidupkan nilai keberagamaan.
Akan tetapi, lama-kelamaan kekhawatiran tersebut muncul juga setelah pengaruh Rasulullah ﷺ kian lama kian kuat dan meluas, mulailah mereka memperhatikan dan mengawasi dakwah Rasululullah ﷺ.
Fase Kedua, Dakwah Jahriyyah
Mendakwahkan Keluarga Terdekat
Fase dakwah jahriyyah (terang-terangan) ini ditandai wahyu Allah Ta’ālā yang berisi perintah untuk memperingatkan kalangan keluarga beliau, sebagaimana firman Allah Ta’ālā:
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ ٱلْأَقْرَبِينَ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’ara: 214)
Setelah turun ayat tersebut, yang pertama Rasulullah ﷺ lakukan adalah mengumpulkan sanak saudaranya dari kalangan Bani Hasyim. Maka berkumpullah sekitar empat puluh lima orang dari sukunya.
Rasulullah ﷺ segera menyampaikan misinya:
“Segala puji hanya milik Allah, aku memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, beriman dan bertawakkal kepada-Nya. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah yang diutus untuk kalian secara khusus, dan kepada seluruh umat manusia secara umum. Demi Allah, kalian akan mati sebagaimana kalian tidur, dan kalian akan dibangkitkan sebagaimana kalian bangun dari tidur, dan perbuatan kalian akan diperhitungkan. Di sana ada surga (dengan kenikmatan) abadi, atau neraka (dengan siksaan) abadi.”
Lalu Abu Ṭālib berkata,
“Kami senang menolongmu, kami juga selalu menerima nasihatmu dan sangat membenarkan ucapan-ucapanmu. Mereka anak cucu nenek moyangmu kini berkumpul, dan aku salah seorang di antara mereka dan orang yang paling cepat memenuhi keinginanmu. Teruskanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Demi Allah, saya akan selalu melindungimu dan mencegah orang yang akan berbuat jahat kepadamu. Cuma saja, saya belum siap meninggalkan agama Abdul-Muṭṭalib.”
Sedangkan Abu Lahab berkata,
“Sungguh hal ini merupakan aib, cegahlah dia sebelum mempengaruhi yang lainnya.”
“Demi Allah, aku tetap akan melindunginya,” tegas Abu Ṭālib.
Dari sini, Rasulullah ﷺ mengetahui pembelaan Abu Ṭālib kepadanya, meskipun dia sendiri tidak bersedia memeluk agama Islam.
Maka setelah itu, Rasulullah ﷺ mendaki bukit Safa, kemudian beliau berseru, “Wahai Bani Fihr, Wahai Bani Adi’!”
Tak lama kemudian mereka berkumpul. Bahkan seseorang yang berhalangan hadir, mengutus utusannya untuk mencari tahu apa yang terjadi. Di antara yang datang adalah adalah Abu Lahab dan pemuka-pemuka Quraisy lainnya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda,
“Bagaimana pendapat kalian seandainya aku beritahukan bahwa ada sekelompok pasukan berkuda di balik gunung ini akan menyerang kalian, apakah kalian akan membenarkan ucapanku?”
“Tentu, kami mengenalmu orang yang paling jujur di antara kami”. Jawab mereka.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan untuk kalian, sebelum datang azab yang sangat pedih”.
“Celaka engkau selama-lamanya, untuk inikah engkau mengumpulkan kami?”. Hardik Abu Lahab.
Maka turunlah ayat:
تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍ وَتَبَّ
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab.” (QS. Al-Lahab: 1)
Mempertegas Dakwah dan Reaksi Kaum Musyrikin
Di saat seruan Rasulullah ﷺ terhadap kerabatnya menjadi bahan pembicaraan, turunlah wahyu Allah Ta’ālā untuk mempertegas misi dakwah Rasulullah ﷺ kepada seluruh masyarakat, ayat tersebut adalah:
فَٱصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ ٱلْمُشْرِكِينَ
“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Ḥijr: 94)
Maka Rasulullah ﷺ semakin mempertegas misi dakwahnya kepada seluruh masyarakat Mekkah waktu itu. Beliau sampaikan segala borok kesyirikan, hakikat berhala-berhala yang disembah dan nilainya yang rendah. Beliau jelaskan bahwa menyembahnya sebagai perantara antara dirinya dengan Allah Ta’ālā adalah kesesatan yang nyata.
Mendengar hal tersebut, meledaklah kemarahan masyarakat Arab. Seruan tauhid yang dibawa Rasulullah ﷺ dan pernyataan sesat atas apa yang selama ini mereka perbuat terhadap berhala-berhala mereka, jelas membuat mereka terperangah penuh penolakan. Tak ubahnya bagai kilat yang menyambar, kemudian melahirkan guntur dan getaran hebat di tengah-tengah mereka.
Sikap mereka tersebut menunjukkan bahwa mereka memahami apa yang ada di balik misi keimanan yang dibawa Rasulullah ﷺ, yaitu menggugurkan semua bentuk penuhanan dan penyembahan yang selama ini mereka percaya.
Keimanan kepada Rasul dan hari akhir, berarti ketundukan mereka secara mutlak terhadap ketetapan dan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ, tidak ada pilihan lain di hadapan mereka. Itu berarti pupusnya kekuasaan dan kesombongan yang selama ini mereka nikmati. Hilang juga kesempatan untuk melakukan berbagai bentuk kerendahan moral dan kezaliman yang selama ini dengan bebas mereka lakukan.
Utusan Quraisy Menghadap Abu Ṭālib
Sedemikian besar kemarahan masyarakat Quraisy terhadap misi dakwah Rasulullah ﷺ, namun mereka tetap kebingungan mengatasinya. Sebab yang mereka hadapi adalah Rasulullah ﷺ yang terkenal dengan akhlak mulia yang belum pernah mereka dapati orang semacam beliau dalam sejarah nenek moyang mereka.
Akhirnya mereka membujuk pamannya, Abu Thalib, untuk mencegah dakwah Rasulullah ﷺ. Mengingat kedudukannya dalam diri beliau ﷺ.
Namun Abu Ṭālib menolak permintaan mereka, sehingga Rasulullah ﷺ tetap dapat meneruskan dakwahnya.
Mereka Mencegah Jamaah Haji Mendengar Dakwah Rasulullah ﷺ
Setelah mereka gagal membujuk Abu Ṭālib untuk mencegah dakwah Rasulullah ﷺ, orang-orang Quraisy semakin kebingungan. Apalagi beberapa bulan kemudian akan datang musim haji, di mana orangorang Arab dari berbagai penjuru berdatangan. Mereka berpendapat bahwa Rasulullah ﷺ harus diberikan citra negatif agar tidak dapat menyampaikan misi dakwahnya di kalangan jamaah haji.
Untuk merealisasikan hal tersebut, mereka pun berkumpul di rumah Walid bin Mughirah untuk bermusyawarah.
Awalnya mereka mengusulkan agar Rasulullah ﷺ dijuluki sebagai dukun saja, tetapi hal tersebut ditolak oleh Walid karena menurutnya tidak ada tanda-tanda dukun pada diri Rasulullah ﷺ. Kemudian mereka mengusulkan tuduhan gila, penyair atau penyihir. Namun semua itu ditolak karena tidak ada yang sesuai dengan pribadi Rasulullah ﷺ dan apa yang beliau sampaikan.
Setelah berembuk sekian lama, akhirnya mereka sepakat untuk menjuluki Rasulullah ﷺ sebagai tukang sihir. Pada awalnya julukan tersebut tidak disetujui oleh Walid, namun karena tidak ada pilihan lain, maka julukan itulah yang akhirnya disepakati. Paling tidak, menurut mereka, karena apa yang Rasulullah ﷺ lakukan telah membuat anak berpisah dari orang tuanya, saudara berpisah dari saudara dan keluarganya, suami berpisah dengan istrinya.
Setelah mengambil keputusan tersebut, maka ketika musim haji tiba, kaum musyrikin Arab dengan segera berjaga-jaga di setiap jalan yang menjadi pintu masuk ke Mekkah dengan tujuan memperingatkan setiap orang yang datang agar tidak mendengarkan dakwah Rasulullah ﷺ.
Disadur dari buku: Ar-Raḥīq Al-Makhtūm