Muamalah yang Diperbolehkan
Ahlus Sunnah membolehkan bermuamalah dengan orang-orang kafir, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabat raḍiyallāhu ‘anhum. Di antara muamalah yang dibolehkan menurut syar’i adalah:
1. Boleh melakukan transaksi dengan mereka dalam perdagangan, sewa menyewa dan jual beli barang, selama alat tukar, dan barangnya dibenarkan menurut syariat Islam.
2. Wakaf mereka dibolehkan selama pada hal-hal di mana wakaf terhadap kaum Muslimin dibolehkan. Misalnya, derma terhadap fakir miskin, perbaikan jalan, derma terhadap Ibnu Sabil dan semacamnya.
3. Boleh memberi pinjaman dan atau meminjam dari mereka walaupun dengan cara menggadaikan barang. Sebab diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam wafat sedangkan baju perangnya digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 sha’ gandum. [1]
4. Haram mengizinkan mereka untuk membangun rumah ibadah bagi mereka di negeri Muslim. Kaum Muslimin dan para pejabat Muslim tidak boleh sekali-kali mengizinkan membangun rumah ibadah orang kafir, apakah gereja, kelenteng, atau yang lainnya. [2]
5. Orang zimi (non-muslim yang berada di negeri Muslim) dan Mu-ahad (non-muslim yang mempunyai perjanjian damai dengan negeri Muslim) tidak boleh diganggu selama mereka melaksanakan kewajiban mereka dan tetap mematuhi perjanjian.
6. Hukum qishas atas nyawa dan yang lainnya juga diberlakukan kepada mereka.
7. Boleh melakukan perjanjian damai dengan mereka, baik karena permintaan kita maupun karena permintaan mereka, selama hal itu untuk mewujudkan kemaslahatan umum bagi kaum Muslimin dan pemimpin kaum Muslimin sendiri cenderung ke arah itu berdasarkan firman Allah Subḥānahu wa Ta’ālā :
وَإِن جَنَحُوا لِلسَّلْمِ فَاجْنَحْ لَهَا
“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya…” (Qs. Al-Anfāl: 61)
Tetapi perjanjian damai itu harus bersifat sementara dan tidak mutlak atau tidak untuk selamanya.
8. Darah, harta dan kehormatan kaum zimi (orang kafir yang mendapatkan perlindungan dari pemerintahan Islam) dan mu’ahad (orang kafir yang mempunyai perjanjian damai dengan kaum Muslimin) adalah haram (tidak boleh ditumpahkan darahnya), apabila mereka bukan kafir Harbi yang memerangi kaum Muslimin. Berdasarkan ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang sahih. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman:
لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (Qs. Al-Mumtaḥanaḥ: 8)
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Barangsiapa yang membunuh seorang kafir mu’ahad, maka ia tidak akan mencium aroma Surga. Dan sesungguhnya aroma Surga dapat tercium dari (jarak) perjalan 40 tahun.” [3]
Juga sabda beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam
مَنْ قَتَلَ قَتِيْلاً مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ، وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ أَرْبَعِيْنَ عَامًا
“Barangsiapa yang membunuh seorang dari ahli żimmah, maka ia tidak akan mencium aroma Surga. Dan sesungguhnya aroma Surga dapat tercium dari (jarak) perjalan 40 tahun.”[4]
Hal ini menunjukkan bahwa orang kafir saja tidak boleh ditumpahkan darahnya, apalagi terhadap seorang Muslim.
Semoga artikel kali ini tentang hukum bermuamalah dengan orang kafir bermanfaat.
Catatan Kaki[+]
↑1 | HR. Al-Bukhari (no. 2916), dari Aisyah raḍiyallāhu ‘anhumā. |
---|---|
↑2 | HR. Al-Bukhari (no. 3166), An-Nasa-i (VIII/25), Ibnu Majah (no. 2686), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr raḍiyallāhu ‘anhumā. |
↑3 | HR. Al-Bukhari (no. 3166), an-Nasa-i (VIII/25), Ibnu Majah (no. 2686), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr raḍiyallāhu ‘anhumā. |
↑4 | HR. Ahmad (II/186), al-Hakim (II/126-127), al-Baihaqi dalam Sunannya (IX/205), dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Amr. Hadis ini disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Aż-Żahabi. |