Keutamaan Salat Berjamaah
Wahai saudaraku, semoga Allah mengaruniakan rahmat-Nya kepadamu…
Ketahuilah bahwa salat lima waktu harus kita kerjakan dengan berjamaah. Karena Nabi ﷺ memerintahkan kita untuk salat berjamaah. Rasulullah ﷺ telah menjelaskan keutamaan salat berjamaah, sebagaimana hadis dari Abu Hurairah Raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِـي الْـجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَىٰ صَلَاتِهِ فِـيْ بَيْتِهِ ، وَفِـيْ سُوْقِهِ ، خَمْسًا وَعِشْرِيْنَ ضِعْفًا ، وَذٰلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوْءَ ، ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ ، لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيْئَةٌ ، فَإِذَا صَلَّىٰ لَمْ تَزَلِ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّـيْ عَلَيْهِ مَا دَامَ فِـيْ مُصَلَّاهُ: اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ ، اَللّٰهُمَّ ارْحَمْهُ ، وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِـيْ صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
“Salat seorang laki-laki dengan berjamaah akan dilipat-gandakan 25 (dua puluh lima) kali lipat daripada salat yang dilakukan di rumah dan di pasarnya. Yang demikian itu, apabila seseorang berwudhu’, lalu ia menyempurnakan wudhu’nya, kemudian keluar menuju ke masjid, tidak ada yang mendorongnya untuk keluar menuju masjid kecuali untuk melakukan salat. Tidaklah ia melangkahkan kakinya, kecuali dengan satu langkah itu derajatnya diangkat, dan dengan langkah itu dihapuskan kesalahannya. Apabila ia salat dengan berjamaah, maka Malaikat akan senantiasa bershalawat (berdoa) atasnya, selama ia tetap di tempat salatnya (dan belum batal). Malaikat akan bershalawat untuknya, ‘Ya Allâh! Berikanlah shalawat kepadanya. Ya Allâh, berikanlah rahmat kepadanya.’ Salah seorang di antara kalian tetap dalam keadaan salat (mendapatkan pahala salat) selama ia menunggu datangnya waktu salat.”[1]
Dalam hadis lain, dari Sahabat Ibnu ‘Umar raḍiyallāhu ‘anhumā, Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِيْنَ دَرَجَةً
“Salat berjamaah itu lebih utama 27 (dua puluh tujuh) derajat daripada salat sendirian.[2]
Dari Abu Hurairah Raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ وَرَاحَ أَعَدَّ اللهُ لَهُ نُزُلَهُ مِنَ الْـجَنَّةِ كُلَّمَا غَدَا أَوْ رَاحَ
‘Barangsiapa pergi (berangkat) ke masjid baik di waktu pagi atau sore hari, maka Allah menyediakan baginya hidangan di Surga setiap kali ia berangkat di waktu pagi atau sore hari’.[3]
Dari Anas Raḍiyallāhu ‘anhu , ia mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ صَلَّى ِللهِ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا فِـيْ جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيْرَةَ اْلأُوْلَى كُتِبَ لَهُ بَرَاءَتَانِ : بَرَاءَةٌ مِنَ النَّارِ ، وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Barangsiapa salat jamaah dengan ikhlas karena Allah selama empat puluh hari dengan mendapati takbir pertama (takbiiratul ihram), maka ia dibebaskan dari dua perkara: dibebaskan dari neraka dan dibebaskan dari kemunafikan”.[4]
Rasulullah ﷺ sangat menganjurkan bagi laki-laki untuk mengerjakan salat dengan berjamaah di masjid dan menganjurkan wanita untuk salat di rumahnya karena bagi wanita, rumah itu lebih baik. Rasulullah ﷺ selalu mengerjakan salat berjamaah di masjid, bahkan ketika Beliau ﷺ sedang sakit, hingga Beliau ﷺ dipapah ke masjid untuk mengerjakan salat berjamaah.
Dari Ibnu ‘Umar Raḍiyallāhu ‘anhuma, dari Nabi ﷺ , Beliau bersabda:
لَا تَمْنَعُوْا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ، وَبُيُوْتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian mendatangi masjid. Dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka.”[5]
Hukum Salat Berjamaah Bagi Laki-Laki
Hukum salat berjamaah bagi laki-laki balig adalah wajib, berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Qs. Al-Baqarah: 43)
Para Ulama berdalil dengan ayat ini tentang wajibnya salat berjamaah.[6]
Juga berdasarkan riwayat dari Ibnu ‘Abbas Raḍiyallāhu ‘anhu, dari Rasulullah ﷺ , Beliau ﷺ bersabda:
مَنْ سَمِعَ الِنّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Barangsiapa mendengar azan kemudian tidak mendatanginya, maka tidak ada salat baginya (salatnya tidak sempurna-pent), kecuali karena ada uzur.[7]
Di antara uzur yang membolehkan kita untuk meninggalkan salat berjamaah adalah sakit, bepergian (safar), hujan lebat, cuaca sangat dingin, dan udzur lainnya yang dijelaskan oleh syariat.
Rasulullah ﷺ tidak memberikan keringanan untuk meninggalkan salat berjamaah bagi orang yang buta dan tidak ada orang yang menuntunnya ke masjid. Diriwayatkan dari Abu Hurairah Raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata, “Seorang laki-laki yang buta mendatangi Nabi ﷺ , lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah! Sungguh, aku tidak memiliki orang yang mau mengantarkanku menuju masjid.’ Maka ia meminta keringanan kepada Rasulullah ﷺ untuk salat di rumahnya, dan Beliau ﷺ memberikan keringanan baginya. Namun, ketika ia telah beranjak, Beliau ﷺ memanggilnya dan berkata:
هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ ؟ فَقَالَ : نَعَمْ ، قَالَ : فَأَجِبْ
“Apakah engkau mendengar suara panggilan untuk salat (adzan)?’ Ia menjawab, ‘Ya.’ Maka Beliau bersabda, ‘Kalau begitu penuhilah panggilan itu.”[8]
Pada kesempatan lainnya Rasulullah ﷺ pernah berniat untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak melakukan salat berjamaah di masjid. Dari Abu Hurairah Raḍiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ هَـمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ لِيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَـهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَـالِفَ إِلَـىٰ رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَـهُمْ. وَالَّذِيْ نَـفْسِـيْ بِيَدِهِ ، لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَـجِدُ عَرْقًا سَمِيْنًا أَوْ مِرْمَـاتَيْـنِ حَسَنَـتَيـْنِ ، لَشَهِدَ الْعِشَاءَ
“Demi (Allah) Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku berniat menyuruh mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh azan untuk salat. Kemudian kusuruh seorang laki-laki mengimami orang-orang. Setelah itu, kudatangi orang-orang yang tidak menghadiri salat jamaah dan kubakar rumah-rumah mereka. Demi (Allah) Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, andai salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh daging gemuk atau (dua kaki hewan berkuku belah) yang baik, niscaya ia akan mendatangi salat Isya.”[9]
Salat berjamaah wajib dilakukan di masjid, bukan di rumah karena tujuan dibangunnya masjid adalah untuk ditegakkan salat berjamaah di dalamnya.
Sangat disayangkan sebagian kaum Muslimin, padahal ia sebagai donatur pembangunan masjid, pengurusnya dan bahkan para ustaznya, tidak melakukan salat berjamaah di masjid. Ibnu Mas’ûd Raḍiyallāhu ‘anhu pernah berkata:
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَىٰ هٰؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَىٰ بِهِنَّ ، فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى ، وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَىٰ ، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِـيْ بُيُوْتِكُمْ كَمَا يُصَلِّـيْ هٰذَا الْمُتَخَلِّفُ فِـيْ بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّـةَ نَبِيِّكُمْ ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ … وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُوْمُ النِّفَاقِ
“Barangsiapa ingin bertemu dengan Allah di hari kiamat kelak dalam keadaan Muslim, hendaklah ia menjaga salat lima waktu dimanapun ia diseru kepadanya. Sungguh, Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian ﷺ, sunah-sunah yang merupakan petunjuk. Salat lima waktu termasuk sunnah-sunnah yang merupakan petunjuk. Seandainya kalian salat di rumah kalian sebagaimana orang yang tertinggal ini salat di rumahnya (dia tidak salat berjamaah di masjid) niscaya kalian akan meninggalkan sunnah Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan sunnah-sunnah Nabi kalian, niscaya kalian akan sesat… Dan saya melihat (pada zaman) kami (para Sahabat), tidak ada yang meninggalkan salat berjamaah kecuali seorang munafik, yang telah diketahui kemunafikannya.”[10]
Di zaman Sahabat, orang yang meninggalkan salat berjamaah dimarahi dan ditegur dengan keras oleh para Sahabat. Para Sahabat dan Tabi’in marah kepada laki-laki yang sehat, yang jelas tidak ada uzur syari untuk meninggalkan salat berjamaah.
Kerasnya teguran mereka terkandung dalam ucapan ‘Abdullah bin Mas’ud Raḍiyallāhu ‘anhu, yaitu:
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنِ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ
“Dan saya melihat (pada zaman) kami (para Sahabat), tidak ada yang meninggalkan salat berjamaah kecuali orang munafik, yang telah diketahui kemunafikannya.”[11]
Pada zaman para sahabat, hanya orang munafik yang meninggalkan salat berjamaah. Kalau datang waktu Subuh dan Isya, mereka enggan untuk hadir salat berjamaah di masjid. Karena keadaan pada waktu keduanya gelap, berbeda dengan salat yang dilakukan di siang hari, mereka ikut berjamaah karena riya’ (pamer).
Konsekuensi yang terkandung dalam hal tersebut adalah jika ada kepentingan rapat, kerja, dan kesibukan yang lainnya, maka tinggalkanlah pekerjaan itu untuk sementara. Lalu kerjakanlah salat terlebih dahulu! Laki-laki mengerjakan salat berjamaah di masjid sedangkan wanita mengerjakan salat di rumah. Inilah anjuran Rasulullah ﷺ .
Mengerjakan salat berjamaah tidak memakan waktu lama, hanya 10 menit, tidak lebih lama dari waktu berdagang, kerja, kuliah, dan makan.
Mudah-mudahan kita diberikan kekuatan dan kemampuan untuk dapat melaksanakan salat yang lima waktu secara berjamaah di masjid. Hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla kita memohon pertolongan dan hanya kepada-Nya kita bertawakkal.
Catatan Kaki[+]
↑1 | HR. Al-Bukhari, no. 647; Muslim, no. 649 (272); At-Tirmiżi, no. 603; Ibnu Majah, no. 281 dan Abu Dawud, no. 471 |
---|---|
↑2 | Sahih: HR. Al-Bukhari, no. 645 dan Muslim, no. 650 (249) |
↑3 | HR. Al-Bukhâri, no. 662 dan Muslim, no. 669 |
↑4 | Hasan: HR. At-Tirmiżi, no. 241. Lihat Silsilah Al-Ahâdîts Ash-Shahîhah, no. 2652 |
↑5 | Sahih: HR. Abu Dawud, no. 567. Disahihkan oleh Syekh Al-Albani dalam Takhrîj Hidâyatur Ruwât (I/467, no. 1020). |
↑6 | Lihat Tafsir Ibnu Katsir, I/249 |
↑7 | Sahih: HR. Ibnu Mâjah, no. 793; Al-Hakim, I/245 dan al-Baihaqi, III/ 174. Disahihkan oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Aż-Żahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (II/337) |
↑8 | Sahih: HR. Muslim, no. 653 |
↑9 | HR. Al-Bukhâri, no. 644; Muslim, no. 651; Abu Dawud, no. 548; An-Nasa-I, II/107; dan Ibnu Majah, no. 791 |
↑10 | Sahih: HR. Muslim, no. 654 (257) kitab Al-Masâjid wa Mawâdhi’ Ash-Shalâh bab Shalatul Jamâ’ah min Sunanil Huda, Abu Dawud, no. 550; dan An-Nasa-i (II/108-109). |
↑11 | Sahih: HR. Muslim no. 654 (256) |