Imamah, Jemaah, dan Sahabat

13 menit waktu membaca

Daftar Isi

IMAMAH (KEPEMIMPINAN) DAN JEMAAH

Umat Islam adalah umat yang satu. Urusan mereka tidak bisa lurus dan baik serta tidak bisa tercapai misinya kecuali dengan beberapa hal berikut ini:

1. Kewajiban Berbaiat

Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang meninggal dan tidak ada baiat di lehernya maka dia mati dalam keadaan mati jahiliah.” (HR. Muslim)[1]

2. Mendengar dan Menaati Pemerintah Dalam Perkara Yang Makruf

Juga melaksanakan haji, salat Jumat, dan hari raya bersama pemimpin yang baik ataupun pempimpin fajir (buruk), menasihati mereka, serta kembali kepada kitab (Al-Qur`ān) dan Sunnah ketika terjadi pertikaian. Allah Ta’ālā berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisā`: 59)

Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim berkewajiban mendengarkan dan menaati pemimpin terkait hal-hal yang dia cintai dan dia benci, kecuali apabila dia diperintahkan untuk bermaksiat. Jika dia diperintahkan untuk bermaksiat maka tidak boleh didengarkan dan ditaati.” (Muttafaq ‘alaihi)[2]

Beliau juga bersabda, “Siapa yang melepaskan tangan (baiat) dari ketaatan maka dia menjumpai Allah tanpa memiliki hujah.” (HR. Muslim)[3]

3. Haram Memberontak dan Memerangi Mereka

Tidak boleh memberontak meskipun mereka berlaku aniaya, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang nyata, di mana kita memiliki bukti yang kuat dari Allah. Ini berdasarkan hadis ‘Ubādah bin Aṣ-Ṣāmit raḍiyallāhu ‘anhu. Dia berkata, “Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memanggil kami maka kami pun membaiat beliau.” Di antara ucapan yang beliau ambil dari kami adalah kami membaiat beliau untuk “selalu mendengar dan taat, baik dalam suka maupun benci, sulit maupun mudah, mendahulukan beliau di atas diri kami, dan tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (Muttafaq ‘alaihi).[4]

Dan beliau bersabda, “Kalian akan melihat sepeninggalku (para pemimpin) yang mementingkan diri mereka sendiri, dan berbagai perilaku yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya, “Apa yang Anda perintahkan kepada kami wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Berikan kepada mereka hak mereka, dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Muttafaq ‘alaihi).[5]

Jadi, tidak boleh keluar (memberontak) kepada pemimpin kecuali jika terpenuhi syarat-syarat yang sangat berat, yaitu:

  1. Memastikan terjadinya kekufuran dengan pandangan ilmiah ataupun mata. Berdasarkan sabda beliau, “kecuali kalian melihat.” Jadi tidak boleh berpatokan pada isu dan informasi semata.
  2. Ada kekufuran. Jadi, tidak boleh memberontak karena kefasikan ataupun kejahatan mereka.
  3. Kekufuran itu nyata, dilakukan terang-terangan. Tidak boleh memberontak kepada mereka karena kekufuran yang tersembunyi.
  4. Ada dalil pasti untuk mengafirkan mereka dengan perbuatan tersebut. Ini berdasarkan sabda beliau, “kalian memiliki bukti yang kuat dari Allah.” Jadi, tidak boleh memberontak kepada mereka karena urusan yang bersifat dugaan, penuh kemungkinan, atau masalah khilafiah.
  5. Ada kemampuan. Tidak boleh memberontak kalau dalam kondisi lemah, walaupun semua syarat di atas terpenuhi, karena itu akan menyebabkan tercabutnya agama dan dizaliminya seluruh pemeluknya. Allah berfirman,

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka, ‘Tahanlah tanganmu (dari berperang), laksanakanlah salat dan tunaikanlah zakat!’ Ketika mereka diwajibkan berperang, tiba-tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti takutnya kepada Allah, bahkan lebih takut (dari itu).” (QS. An-Nisā`: 77)

Di sini Allah memerintahkan untuk menahan tangan ketika dalam kondisi lemah, dan mewajibkan berperang ketika ada kemampuan.

SAHABAT

Sahabat adalah orang yang bertemu dengan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, beriman dengannya, dan meninggal dalam keadaan beriman. Para sahabat riḍwānullāhi ‘alaihim adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi, dan sebaik-baik umat ini. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah kurun (abad)ku.”[6] Dan beliau bersabda, “Sebaik-baik umat adalah kurun (abad)ku.” (Muttafaq ‘alaihimā)[7]

Mereka semua adalah ‘adl (istikamah dalam beragama), karena Allah Subḥānahu wa Ta’ālā sudah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Allah telah menyucikan, meridai, mengampuni mereka, menyifati mereka dengan sifat-sifat mulia, dan menjanjikan berbagai kebaikan untuk mereka. Allah berfirman,

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya. Pada wajah mereka tampak tanda-tanda bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka (yang diiungkapkan) dalam Taurat dan sifat-sifat mereka (yang diungkapkan) dalam Injil, yaitu seperti benih yang mengeluarkan tunasnya, kemudian tunas itu semakin kuat, lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas batangnya, tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan di antara mereka, ampunan dan pahala yang besar.” (QS. Al-Fatḥ: 29)

Namun demikian, sebagian mereka lebih utama dibanding sebagian yang lain, baik berupa tingkatan keutamaan secara umum, ataupun tingkatan keutamaan secara khusus.

Di antara tingkatan keutamaan mereka secara umum adalah:

1. Orang-orang Muhajirin lebih utama dari orang Ansar

Karena mereka menggabungkan antara hijrah dan pertolongan terhadap agama, dan karena Allah mendahulukan penyebutan mereka. Allah berfirman,

“(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridaan(-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Ḥasyr: 8-9)

 “Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.” (QS. At-Taubah: 100)

 “Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin, dan orang-orang Ansar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada mereka.” (QS. At-Taubah: 117)

2. Orang yang berinfak dan berperang sebelum perjanjian Hudaibiah lebih utama dari orang yang berperang dan berinfak setelah itu

Allah Ta’ālā berfirman,

“Tidak sama orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan (Mekah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Ḥadīd: 10)

3. Peserta perang Badar

Berdasarkan sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam kepada Umar raḍiyallāhu ‘anhu dalam kisah Ḥāṭib bin Abi Balta’ah, “Sesungguhnya dia telah ikut dalam perang Badar. Mungkin saja kamu belum tahu, barangkali Allah sudah melihat kepada pengikut perang Badar, kemudian Dia berfirman, ‘Lakukanlah apa yang kalian kehendaki, sungguh Aku telah mengampuni kalian.'” (Muttafaq ‘alaihi)[8]

4. Peserta Baiat Ar-Riḍwān

Allah Ta’ālā berfirman,

“Sungguh, Allah telah meridai orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu (Muhammad) di bawah pohon, Dia mengetahui apa yang ada dalam hati mereka, lalu Dia memberikan ketenangan atas mereka dan memberi balasan dengan kemenangan yang dekat.” (QS. Al-Fatḥ: 18)

Dan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk neraka seorang pun, insya Allah, para peserta (baiat di bawah) pohon yang telah melakukan baiat di bawahnya.” (HR. Muslim)[9]

Adapun tingkatan keutamaan mereka secara khusus adalah:

  1. Para khalifah yang empat

Orang terbaik dari umat ini setelah Nabi adalah Abu Bakar Aṣ-Ṣiddīq, kemudian Umar bin Al-Khaṭṭāb. Ini berdasarkan Ijmak Ahli Sunnah wal Jamaah . Dan ada riwayat yang dinukilkan secara mutawatir melalui lebih dari 80 jalur dari Ali raḍiyallāhu ‘anhu bahwa dia berkata di atas mimbar Kufah, “Sebaik-baik orang dari umat ini setelah Nabinya adalah Abu Bakar, kemudian Umar.” (HR. Ahmad dengan berbagai sanad yang sahih, dan Ibnu Abi ‘Āsim, dan disahihkan oleh Al-Albāniy).[10] Dan Ali raḍiyallāhu ‘anhu tidak akan mengucapkan itu secara pasti kecuali berdasarkan ilmu.

Kemudian keutamaan selanjutnya dimiliki oleh Usman bin Affan raḍiyallāhu ‘anhu, berdasarkan riwayat Bukhari dari hadis Abdullah bin Umar raḍiyallāhu ‘anhumā, “Kami memilih yang terbaik di antara manusia pada zaman Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, maka kami memilih yang terbaik adalah Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Usman raḍiyallāhu ‘anhum.[11] Dalam lafal lain disebutkan, “Maka berita itu sampai kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkarinya.”[12]

Sufyān Aṡ-Ṡauriy raḥimahullāh mengatakan, “Siapa yang mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar maka sungguh dia telah membuat kedustaan terhadap orang-orang Muhajirin dan Ansar,”[13] karena mereka telah mengutamakannya dalam masalah khilafah. Dan setelah itu Ali bin Abi Ṭālib raḍiyallāhu ‘anhu. Jadi, tingkatan keutamaan mereka seperti urutan mereka dalam khilafah.

  1. Orang-orang yang dijanjikan masuk surga

Mereka adalah para khalifah yang empat, Abdurraḥmān bin ‘Auf, Sa’d bin Abi Waqqāṣ, Ṭalḥah bin ‘Ubaidillāh, Az-Zubair bin Al-‘Awwām, Abu ‘Ubaidah bin Al-Jarrāḥ, dan Sa’īd bin Zaid riḍwānullāhi ‘alaihim. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kesaksian terhadap sepuluh orang itu bahwa mereka akan masuk surga. (HR. Lima ahli hadis).[14] Hadis ini sahih.

Nas-nas hadis lain juga menyebutkan berita gembira untuk masuk surga bagi selain mereka seperti Bilāl,[15]Ṡābit bin Qais,[16] dan Abdullāh bin Salām[17] raḍiyallāhu ‘anhum.

  1. Ahlibait Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam

Mereka terdiri dari lima keturunan yang haram menerima sedekah, yaitu keluarga Ali, keluarga Ja’far, keluarga ‘Aqīl, keluarga Abbās, dan Bani Al-Ḥāriṡ bin ‘Abdul-Muṭṭalib. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla telah memlilih Kinānah dari keturunan Ismail ‘alaihissalām, dan memilih Quraisy dari Kinānah, dan memilih Bani Hāsyim dari Quraisy, dan memilihku dari Bani Hāsyim.” (HR. Muslim).[18] Dan beliau bersabda, “Aku ingatkan kalian dengan Allah terhadap keluargaku. Aku ingatkan kalian dengan Allah terhadap keluargaku.” (HR. Muslim)[19]

Dan ketika Abbās bin ‘Abdul-Muṭṭalib raḍiyallāhu ‘anhu mengadu kepada Nabi terkait perilaku sebagian kaum Quraisy yang mengucilkan Bani Hāsyim, beliau bersabda, “Demi Allah. Tidak akan masuk keimanan ke hati seseorang sehingga dia mencintai kalian karena Allah dan karena kekerabatanku.” (HR. Ahmad)[20]

Dan di antara ahlibait Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam adalah para istrinya yang baik lagi suci. Allah Ta’ālā berfirman,

“Dan sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlibait  dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Aḥzāb: 33)

Allah telah memilih mereka untuk Nabi-Nya, dan menjadikan mereka sebagai istrinya di dunia dan akhirat. Allah juga menyebut mereka sebagai ibu orang-orang beriman. Yang paling utama dari mereka adalah Khadijah dan Aisyah binti Abu Bakar raḍiyallāhu ‘anhumā. Istri beliau yang lain adalah Saudah binti Zam’ah, Ḥafṣah binti Umar, Ummu Salamah, Ummu Ḥabībah bin Abi Sufyān, Ṣafiyyah binti Ḥuyay, Zainab bin Jaḥsy, Juwairiyyah, Maimūnah, Zainab bin Khuzaimah raḍiyallāhu ‘anhunna.

Kewajiban kita terhadap para sahabat meskipun mereka berbeda tingkatannya adalah:

Pertama, mencintai, menolong, meridai, memintakan ampunan, dan memuji mereka secara pribadi dan kolektif. Allah Ta’ālā berfirman, “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain.” (QS. At-Taubah: 71)

Dan Allah Ta’ālā berfirman,

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.'” (QS. Al-Ḥasyr: 10)

Dan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum Ansar, dan tanda kemunafikan adala membenci kaum Ansar.” (HR. Bukhari)[21]

Ali raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Demi Allah yang memecah bijian dan menciptakan manusia. Sungguh ada pesan Nabi yang buta huruf ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam kepadaku, ‘bahwa tidaklah mencintaiku kecuali mukmin, dan tidaklah membenciku kecuali munafik.” (HR. Muslim)[22]

Kedua, menjaga hati dan lidah terhadap mereka dari berbagai sifat dengki, prasangka buruk, cacian dan laknat. Allah Ta’ālā berfirman, “Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ḥassr: 10)

Dan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku. Demi Allah yang jiwaku ada di Tangan-Nya, kalau seandainya salah seorang di antara kalian menafkahkan emas sebesar gunung Uhud maka dia itu tidak akan menyamai satu mud dari (pahala) mereka dan juga tidak sebagiannya.” (Muttafaq ‘alaihi)[23]

Ketiga, menahan diri dari perselisihan yang terjadi di antara mereka, berbaik sangka kepada mereka, dan mencarikan uzur bagi mereka karena mereka berijtihad, bisa jadi mereka benar maka mendapatkan dua pahala, atau mereka salah sehingga mendapatkan satu pahala. Mereka memiliki berbagai kebaikan sebelumnya, keutamaan, dan kebaikan-kebaikan agung yang menyebabkan mereka mendapatkan ampunan dosa jika memang ada dosa yang timbul dari perbuatan mereka.

Keempat, berlepas diri dari cara-cara Rafidah, orang-orang yang berlebih-lebihan dalam mencintai ahlibait dan membenci serta mencaci para sahabat umumnya. Juga berlepas dari dari orang-orang nawāṣib, orang-orang yang mengucilkan dan menyakiti ahlibait Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.

Baca Setelahnya…

Baca Sebelumnya…

Catatan Kaki

Catatan Kaki
1 HR. Muslim nomor 1851, dari hadis Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā.
2 HR. Bukhari nomor 7144, dan Muslim nomor 1839, dari hadis Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā.
3 HR. Muslim nomor 1851 dari hadis Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā. Ini merupakan penggalan dari hadis pertama dalam bab ini.
4 HR. Bukhari nomor 7055, 7056, dan Muslim 1709, 4771.
5 HR. Bukhari nomor 7052, dan Muslim 1843, dari hadis Ibnu Mas’ud raḍiyallāhu ‘anhu.
6 HR. Bukhari nomor 2652, dan Muslim nomor 2533, dari hadis Ibnu Mas’ud raḍiyallāhu ‘anhu.
7 HR. Bukhari nomor 3650, dan Muslim nomor 2535, dari hadis ‘Imrān bin Ḥuṣain raḍiyallāhu ‘anhumā. Lafal ini miliki Bukhari.
8 HR. Bukhari nomor 3007, dan Muslim nomor 2494, dari hadis Ali raḍiyallāhu ‘anhu
9 HR. Muslim nomor 2496, dari hadis Ummu Mubasy-syir raḍiyallāhu ‘anhumā.
10 HR. Ahmad nomor 836, dan IbnuAbi ‘Āsim di As-Sunnah yang ditakhrij oleh Al-Albāniy dengan nomor 1201.
11 HR. Bukhari nomor 3655.
12 HR. IbnuAbi ‘Āsīm di As-Sunnah yang ditakhrij oleh Al-Albāniy dengan nomor 1193.
13 HR. Ibnu Abi Ma’īn di kitab Tārikh-nya dari riwayat Ibnu Muḥarriz nomor 885, dan Al-Khallāl di kitab As-Sunnah nomor 528. Juga diriwayatkan oleh Al-Khatīb Al-Bagdādiy di Tārikh Bagdād: 5/50 dengan lafal, “Siapa yang mengutamakan Ali di atas Usman maka sungguh dia telah membuat kedustaan terhadap 12.000 orang, di mana Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggal dalam keadaan rida terhadap mereka. Mereka berkonsensus untuk membaiat Usman.”
14 HR. Ahmad nomor 1675, Tirmizi nomor 3747, Nasa`i di As-Sunan Al-Kubrā nomor 8138, dari hadis Abdurrahman bin ‘Auf raḍiyallāhu ‘anhu dengan menyebutkan sepuluh. Diriwayatkan juga oleh Ahmad nomor 1631, Abu Daud nomor 4649, Tirmizi nomor 3748, Nasa`i di As-Sunan Al-Kubrā nomor 8162, dan Ibnu Majah nomor 132 dari hadis Sa’id bin Zaid raḍiyallāhu ‘anhu dengan menyebutkan sembilan.
15 HR. Bukhari nomor 1149, dan Muslim nomor 2458 dari hadis Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu. Dan diriwayatkan juga oleh Muslim nomor 2457 dari hadis Jabir raḍiyallāhu ‘anhu.
16 HR. Bukhari nomor 3613, dan Muslim nomor 119 dari hadis Anas raḍiyallāhu ‘anhu.
17 HR. Bukhari nomor 3812, dan Muslim nomor 2483 dari hadis Sa’ad bin Abi Waqqāṣ raḍiyallāhu ‘anhu
18 HR. Muslim nomor 2276, dari hadis Wāṡilah bin Al-Asqa’ raḍiyallāhu ‘anhu.
19 HR. Muslim nomor 2408, dari hadis Zaid bin Arqam raḍiyallāhu ‘anhu.
20 HR. Ahmad nomor 1777 dari hadis Abbās bin Abdulmuṭṭalib raḍiyallāhu ‘anhu.
21 HR. Bukhari nomor 17 dari hadis Anas raḍiyallāhu ‘anhu.
22 HR. Muslm nomor 78.
23 HR. Bukhari nomor 3673, dan Muslim nomor 2540, dari hadis Abi Sa’id raḍiyallāhu ‘anhu. Dan Muslim meriwayatkan juga dengan nomor 2540 dari hadis Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu.
Ditulis oleh Ustaz Muhammad Thalib, MA
Diambil dari website: mutiaradakwah.com
Print Artikel

Berlanggan Artikel Mutiara Dakwah

Berlangganlah secara gratis untuk mendapatkan email artikel terbaru dari situs ini.

Trending
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email

Tambahkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Agama dan Manhaj
Muhammad Thalib, MA

Agama dan Manhaj

Agama dan Manhaj Agama Allah itu satu, yaitu Islam. Allah berfirman, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS. Āli ‘Imrān: 19). Ini adalah agama Allah untuk orang-orang terdahulu sampai

Baca Selengkapnya »
Apa Saja Penyempurna Akidah?
Muhammad Thalib, MA

Apa Saja Penyempurna Akidah?

Penyempurna Akidah 1. Amar makruf dan nahi munkar Allah Ta’ālā berfirman, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari

Baca Selengkapnya »

Apakah Anda Ingin Meningkatkan Bisnis Anda?

Tingkatkan dengan cara beriklan

Formulir anda berhasil dikirim, terimakasih

join mutiara dakwah

Subscribe agar anda mendapatkan artikel terbaru dari situs kami

join mutiara dakwah

Subscribe agar anda mendapatkan artikel terbaru dari situs kami

Hukum Shalat Memakai Masker Saat Pandemi Covid-19 Setiap Amalan Tergantung Niatnya Keutamaan Mempelajari Tafsir Alquran Mengkhatamkan Al-Qur`an Sebulan Sekali Pelajari Adab Sebelum Ilmu Kenapa Kita Harus Belajar Fikih Muamalat? Tata Cara Wudhu Yang Benar Pembagian Tauhid dan Maknanya Hukum Belajar Bahasa Inggris Kisah Rasulullah Hijrah Ke Madinah Mengajak Orang Lain Berbuat Baik, Tapi Lupa Diri Sendiri