Keempat: Iman terhadap Nama dan Sifat-sifat-Nya
Yaitu keyakinan pasti bahwa Allah Ta’ālā memiliki nama-nama yang terbaik dan sifat-sifat yang sangat tinggi; menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam kitab-Nya, atau ditetapkan oleh Nabi untuk-Nya di dalam Sunnahnya, berupa sifat-sifat kesempurnaan dan kemuliaan, tanpa disertai dengan tamṡīl (penyerupaan) dan takyīf (menentukan kaifiatnya); serta menafikan apa yang Allah nafikan untuk diri-Nya dalam kitab-Nya, atau dinafikan oleh Nabi-Nya dalam Sunnahnya, berupa sifat-sifat kekurangan, aib, dan penyerupaan dengan makhluk, tanpa taḥrīf (penyelewengan) dan juga ta’ṭīl (pengingkaran).
Allah Ta’ālā berfirman, “Dan Allah memiliki Al-Asmā`ul-Ḥusnā (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Al-Asmā`ul-Ḥusnā itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-A’rāf: 180)
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syūrā: 11)
Nama-nama dan sifat-sifat Allah Subḥānahu wa Ta’ālā adalah tauqīfiy (berdasarkan wahyu saja). Akal atau logika tidak bisa menetapkannya secara independen. Allah tidak boleh disifati kecuali dengan sifat yang ditetapkan-Nya, atau ditetapkan oleh Rasul-Nya. Jadi, tidak boleh melewati apa yang terdapat dalam Al-Qur`ān dan Sunnah. Sifat-sifat yang didiamkan oleh Allah dan juga Rasul-Nya maka kita berkewajiban untuk mendiamkannya (tidak membicarakannya), dan bersikap tawaqquf (abstain) dalam menafikan dan menetapkannya, serta meminta rincian terkait maksud dari pengucapnya. Jika dia menginginkan makna yang benar maka makna tersebut diterima sementara lafalnya ditolak; dan jika dia menyebutkan makna yang rusak (salah) maka lafal dan maknanya ditolak. Allah Ta’ālā berfirman,
“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (QS. Al-Isrā`: 36)
Nama-nama Allah Ta’ālā dalam kebaikannya sudah mencapai puncaknya. Nama-nama itu merupakan nama untuk zat-Nya sekaligus menjadi sifat Allah Subḥānahu wa Ta’ālā. Sifat-sifat-Nya sempurna, tidak ada kekurangan di dalamnya dari segi mana pun. Allah Ta’ālā berfirman,
“Dia memiliki sifat Yang Mahatinggi di langit dan di bumi. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. Ar-Rūm: 27)
Dan semua itu adalah benar sesuai hakikatnya, maka wajib dipahami sesuai dengan lahirnya tanpa taḥrīf, dan haram melakukan ilḥād (penyelewengan) terhadap nama dan sifat tersebut, baik dengan melakukan ta’ṭīl, tamṡīl, ataupun dengan membuat nama-nama yang tidak disebutkan oleh Allah untuk diri-Nya, atau menjadikan nama-nama-Nya sebagai nama untuk berhala, seperti Al-Lātta dari nama Al-Ilāh, Al-‘Uzzā dari nama Al-‘Azīz, dan Al-Manāt dari nama Al-Mannān.
Kita juga berkewajiban untuk berdoa dengan nama-nama tersebut, baik dalam doa mas`alah (permintaan) ataupun doa ibadah. Kita juga harus menghafalnya, memahami maknanya, memikirkan dampaknya, serta beramal dengan apa yang diinginkan oleh nama-nama tersebut. Itu semua merupakan ilmu yang paling mulia.
Sifat-sifat Allah Ta’ālā dalam kaitannya dengan diri-Nya terbagi menjadi:
1. Sifat Żātiyyah (zat)
Yaitu sifat-sifat yang senantiasa melekat dengan zat Allah yang Mahasuci, seperti hidup, mendengar, melihat, ilmu, kodrat, iradah, hikmah, kekuatan, dan lainnya.
2. Sifat Fi’liyyah (perbuatan)
Yaitu sifat-sifat yang terkait dengan masyī`ah (kehendak) dan hikmah Allah. Dia melakukannya jika Dia berkehendak, sebagaimana yang dikehendaki-Nya, dan selaras dengan hikmah-Nya, seperti sifat istiwa` (bersemayam), turun, cinta, benci, gembira, heran, tertawa, datang, dan sifat lainnya yang disebutkan dalam Al-Qur`ān atau terdapat dalam Sunnah yang sahih.
Sebagian dari sifat-sifat itu, seperti sifat berbicara, disebut Żātiyyah Fi’liyyah. Sifat itu Żātiyyah ketika dilihat pada asal sifat itu, dan Fi’liyyah ketika dilihat kepada masing-masing pembicaraannya. Atau kadang disebut juga dengan istilah qadīmu an-nau’i ḥādisul-āḥādi (kadim secara jenis, baru secara parsial).
Sebagiannya juga disebut sifat khabariyyah, yaitu sifat yang cara penetapannya hanya dengan menggunakan khabar (wahyu) saja, tanpa campur tangan akal, seperti sifat wajah, dua tangan, dua mata, kaki, dan sebagainya yang disebutkan dalam nas-nas yang sahih.
Di antara sifat-sifat Allah Ta’ālā yang ditetapkan berdasarkan Al-Qur`ān, Sunnah, dan Ijmak adalah:
1. Sifat ‘Uluw (Tinggi)
Sifat ini ada tiga macam:
a. ‘Uluw Al-Qadar (Ketinggian Kedudukan). Maksudnya, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memiliki semua sifat kesempurnaan yang paling sempurna, paling lengkap, dan paling tinggi. Allah Ta’ālā berfirman,
“Dan Allah mempunyai sifat Yang Mahatinggi. Dan Dia Mahaperkasa, Mahabijaksana.” (QS. An-Naḥl: 61)
b. ‘Uluw Al-Qahr (Ketinggian Kekuasaan). Maksudnya, Allah Ta’ālā memiliki kemuliaan, kekuatan, kemenangan, dan imtinā’ (penolakan)di atas semua makhluk-Nya. Allah Ta’ālā berfirman,
“Dan Dialah yang berkuasa atas hamba-hamba-Nya. Dan Dia Mahabijaksana, Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’ām: 18)
c. ‘Uluw Aż-Żāt (Ketinggian Zat). Maksudnya, Allah Ta’ālā dengan Zat-Nya berada di atas semua langit, bersemayam di atas Arasy-Nya, terpisah dari makhluk, dan tidak ada sedikit pun dari makhluk yang melekat pada-Nya, dan tidak ada sedikit pun dari Zat-Nya terdapat pada makhluk. Dia Mahasuci dan segala puji bagi-Nya. Allah Ta’ālā berfirman,
“Sudah merasa amankah kamu, bahwa Dia yang di langit tidak akan membuat kamu ditelan bumi ketika tiba-tiba ia terguncang?” (QS. Al-Mulk: 16)
Dalam Sahih Muslim disebutkan bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak wanita. Beliau berkata kepadanya, “Di mana Allah?” Dia menjawab, “Di langit.” Beliau bertanya lagi, “Siapa saya?” Dia menjawab, “Engkau Rasul Allah.” Beliau bersabda, “Merdekakan dia, karena sesungguhnya dia adalah wanita beriman.”([1])
Sungguh sangat banyak sekali dalil-dalil dari Al-Qur`ān, Sunnah, Ijmak, akal, dan fitrah yang menetapkan jenis sifat ini. Dalil-dalil tersebut sangat banyak sekali untuk disebutkan. Sifat ‘uluw merupakan sifat żātiyyah.
2. Sifat Istiwā` (Bersemayam di atas Arasy)
Allah Ta’ālā berfirman, “Lalu Dia bersemayan di atas Arasy.” (QS. Al-A’rāf: 54). Ini terdapat di enam ayat dalam Al-Qur`ān. Dan yang ketujuhnya adalah firman-Nya, “(Yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas Arasy.” (QS. Ṭāhā: 5)
Istiwā` adalah ketinggian Allah Ta’ālā di atas Arasy setelah penciptaan semua langit dan bumi, dengan ketinggian yang layak dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, tidak menyerupai bersemayamnya para makhluk. Istiwā` merupakan sifat fi’liyyah (perbuatan).
3. Sifat Kalam (Berbicara)
Allah Ta’ālā berfirman,
Katakanlah (Muhammad), “Seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-Kahf: 109).
“Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung.” (QS. An-Nisā`: 164)
“Dan ketika Musa datang untuk (munajat) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya.” (QS. Al-A’rāf: 143)
Sifat kalam (berbicara) adalah bahwasanya Allah Ta’ālā berbicara dengan pembicaraan hakiki, bisa didengar, dengan huruf dan suara yang tidak menyamai pembicaraan makhluk. Dan bahwasanya Allah berbicara kapan saja Dia kehendaki, dengan apa saja yang Dia kehendaki, dan bagaimana saja yang Dia kehendaki, pembicaraan yang benar dan adil, dengan kalimat-kalimat yang tidak akan pernah habis. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā senantiasa dan masih terus akan berbicara. Kalam merupakan sifat żātiyyah kalau ditinjau dari aslinya, dan merupakan sifat fi’liyyah kalau ditinjau dari masing-masing pembicaraan dan parsialnya.
Semua jenis sifat tersebut merupakan benar sesuai hakikatnya, maka wajib untuk ditetapkan dan diperlakukan sebagaimana adanya, dipahami sesuai lahirnya, tanpa ada taḥrīf (penyelewengan) dan ta’ṭīl (pengingkaran), serta tanpa tamṡīl (penyerupaan) dan takyīf (tanpa menanyakan kaifiatnya). Semua itu berlaku dalam semua sifat. Pembicaraan terkait sebagian sifat sama dengan pembicaraan tentang sifat-sifat lainnya. Siapa yang membeda-bedakannya maka dia telah bertindak semena-mena tanpa dalil.
Dalam bab nama-nama dan sifat-sifat Allah ini, telah terjadi kesesatan dari sebagian orang Islam, mereka adalah:
1. Ahlu At-Tamṡīl
Mereka adalah orang-orang yang berlebihan dalam menetapkan nama dan sifat Allah sehingga terjerumus pada penyamaan-Nya dengan makhluk. Syubhat mereka adalah bahwa semua itu merupakan tuntutan nas (dalil), karena Allah Ta’ālā berbicara kepada manusia dengan sesuatu yang mereka pahami dari para makhluk.
Bantahan terhadap mereka bisa dilakukan dari beberapa sisi:
- Pertama, bahwasanya Allah telah menafikan dari diri-Nya kesamaan, kesetaraan, dan tandingan dengan ayat-ayat yang muhkam lagi tegas. Allah berfirman,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syūrā: 11)
“Karena itu janganlah kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 22)
“Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlāṣ: 4)
Dan tidak mungkin firman Allah itu kontradiktif.
- Kedua, bahwasanya akal yang lurus tidak akan menerima Ilah yang Maha Pencipta lagi Mahasempurna disamakan dengan hamba makhluk yang serba berkekurangan. Sebagaimana Zat-Nya tidak menyerupai zat makhluk maka juga dengan sifat-Nya, tidak menyerupai sifat makhluk.
- Ketiga, bahwasanya Allah Ta’ālā berbicara kepada manusia dengan apa yang mereka pahami dari asal makna. Ini tidak berarti ada kesamaan makna keseluruhan secara mutlak, serta kesamaan dalam hakikat dan kaifiat. Jika kesamaan nama di antara para makhluk tidak menyebabkan harus ada kesamaan di antara mereka, seperti mendengar, melihat, kekuatan, tangan, dan wajah, maka tentu saja antara Al-Khāliq (Pencipta) dan makhluk lebih tidak sama lagi.
2. Ahlu At-Ta’ṭīl
Mereka adalah orang-orang yang berlebihan dalam menyucikan Allah sehingga terjerumus ke dalam panafian dan pengingkaran. Syubhat mereka adalah bahwasanya penetapan sifat-sifat tersebut mengharuskan adanya persamaan, karena sifat-sifat tersebut merupakan sifat yang dimiliki oleh makhluk, maka dengan demikian harus dinafikan dari Al-Khāliq (Pencipta). Dengan demikian mereka menetapkan untuk Allah wujud mutlak tanpa ada sifat. Orang yang paling berlebihan dalam penafian tersebut adalah sekte Kebatinan Al-Qarāmiṭah yang menafikan dari Allah Naqīḍaini (dua sifat yang bertolak belakang). Kemudian sekte Jahmiyah yang mengingkari nama-nama dan sifat Allah. Kemudian sekte Muktazilah yang menetapkan nama-nama Allah, namun mengingkari sifat-sifat yang terkandung dalam nama-nama tersebut.
Bantahan terhadap mereka melalui beberapa sisi:
- Pertama, bahwasanya Allah telah menetapkan sifat-sifat untuk diri-Nya dalam ayat-ayat yang muhkam lagi tegas secara terperinci. Dia menyebutkannya disertai dengan penafian persamaan. Allah berfirman,
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.” (QS. Asy-Syūrā: 11)
Dan tidak mungkin firman Allah itu kontradiktif.
- Kedua, penetapan wujud mutlak, yang tidak bisa memiliki satu sifat pun, tidak ada hakikatnya sama sekali dalam realitas, itu hanya kasus yang ada dalam pikiran saja. Pendapat mereka ini pada akhirnya akan bermuara pada pengingkaran Al-Khāliq (Pencipta).
- Ketiga, pemberian sifat dengan lafal-lafal umum, mutlak, dan holistik pada sesuatu tidak mesti sifat itu juga yang ada pada benda lainnya, tetapi masing-masingnya adalah merupakan personal-personal dari sifat yang umum. Karena sebuah sifat apabila sudah diberikan taqyīd (batasan) atau digabungkan, maka kesamaannya di luar pikiran (alam nyata) akan hilang.
3. Ahlu At-Ta`wīl
Mereka adalah orang-orang yang berkeyakinan bahwa sebagian nas-nas sifat, seperti sifat fi’liyyah dan khabariyyah, tidak menunjukkan sifat hakiki pada Allah Ta’ālā. Maka mereka pun segera mencari makna-makna lain yang terkandung dalam nas-nas tersebut, tanpa ada dalil sahih yang membolehkan bagi mereka untuk memindahkan nas dari makna lahirnya ke makna selain dari makna lahir tersebut. Mereka menyebut taḥrīf (penyelewengan) yang mereka lakukan itu dengan istilah ta`wīl (takwil).
Bantahan terhadap mereka melalui beberapa sisi:
- Pertama, Allah Ta’ālā lebih tahu tentang diri-Nya, Dia paling jujur perkataan-Nya, dan paling bagus ucapan-Nya, dibandingkan makhluk. Dan Rasul-Nya ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam lebih mengetahui tentang Tuhannya, lebih jujur lisannya, lebih fasih penjelasannya, dan sosok yang paling mencintai kebaikan untuk umat ini. Jadi, bagaimana mungkin seseorang melakukan koreksi terhadap Allah dan Rasul-Nya, dan menjadikan perkataan keduanya sebagai sasaran untuk pengelabuan dan penyesatan.
- Kedua, bahwa pada asalnya perkataan itu dibawakan sesuai makna hakikinya, tidak boleh ditakwilkan kecuali dengan dalil yang benar, yang menghendaki pengalihan makna dari lahirnya ke makna majas. Dan dalam masalah ini tidak ada dalilnya.
- Ketiga, bahwasanya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sudah menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhan mereka, menyampaikan dengan sejeles-jelasnya, maka tidak mungkin beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam meninggalkan masalah yang agung ini tanpa menjelaskan maksud yang diklaim oleh orang-orang yang melakukan taḥrīf (penyelewengan) dengan menggunakan makna-makna yang mereka ciptakan.
4. Ahlu At-Tajhīl
Mereka adalah orang-orang yang berkeyaknian bahwa makna-makna yang disampaikan oleh Allah tentang diri-Nya, atau disampaikan oleh Rasul-Nya itu tidak diketahui maknanya, tidak diketahui kecuali oleh Allah, dan tidak ada jalan bagi seorang pun untuk mengetahuinya. Mereka menamakan metode ini dengan tafwīḍ.
Bantahan terhadap mereka dari beberapa sisi:
- Pertama, tidak mungkin bab tentang pengetahuan mengenai Allah, yang merupakan bab paling mulia dalam masalah agama, tertutup. Akal dan wahyu tidak menunjukkan hal demikian.
- Kedua, bahwasanya Allah Ta’ālā telah menurunkan Al-Qur`ān dengan lisan Arab yang jelas, dia memerintahkan para hamba untuk memikirkannya dan menadaburi maknanya, tanpa ada pengecualian sedikit pun. Ini menunjukkan bahwa mengetahui maknanya adalah perkara yang mungkin. Adapun terkait dengan kaifiat (tabiat asli) dan hakikatnya, maka itu semua merupakan perkara gaib yang ilmunya diserahkan kepada Allah.
- Ketiga, bahwasanya cara pandang ini telah menuduhkan kebodohan kepada orang-orang terdahulu, salaf umat ini, dan menyifati mereka seperti orang-orang buta huruf yang tidak mengetahui Al-Qur`ān kecuali hanya sekadar angan-angan belaka, dan bahwa ayat-ayat sifat dalam pandangan mereka hanya seperti tulisan-tulisan jimat dan huruf-huruf ajam yang tidak berisi makna yang bisa dipahami.
([1]) HR. Muslim nomor 357, dari hadis Mu’āwiyah bin Al-Ḥakam As-Sulamiy raḍiyallāhu ‘anhu.