Iman Kepada Takdir

8 menit waktu membaca

Daftar Isi

IMAN KEPADA TAKDIR

Yaitu keyakinan yang kuat bahwa Allah Ta’ālā telah menentukan takdir semua makhluk dengan ilmu-Nya yang azali, menuliskannya di Lauḥ Maḥfūẓ, merealisasikannya sesuai dengan kehendak-Nya, dan menjadikan-Nya dengan kekuatan-Nya.

Allah Ta’ālā berfirman,

“Sungguh, Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (QS. Al-Qamar: 49).  

Juga berfirman,

“Dan Dia menciptakan segala sesuatu lalu menetapkan ukuran-ukurannya yang tepat.” (QS. Al-Furqān: 2)

Di antara hal-hal yang termasuk dalam iman kepada takdir adalah:

Pertama: Iman kepada Ilmu Allah

Ilmu Allah yang azali, abadi, meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci, terkait segala sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan-Nya, berupa penetapan takdir ajal dan rezeki, ataupun terkait dengan perbuatan hamba-Nya, berupa ketaatan dan kemaksiatan. Allah Ta’ālā berfirman,

“Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Baqarah: 29)

 Dia juga berfirman,

“Itulah ketetapan Allah Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’ām: 96)

Allah sudah mengetahui siapa yang akan menaati-Nya dan siapa yang akan bermaksiat kepada-Nya, sebagaimana Dia mengetahui orang yang akan dipanjangkan umurnya, dan orang yang pendek umurnya.

Kedua: Iman kepada penulisan Allah terhadap semua takdir di Lauḥ Maḥfūẓ

Allah Ta’ālā berfirman,

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Lauḥ Maḥfūẓ) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.” (QS. Al-Ḥadīd: 22)

 Juga berfirman,

“Demi Tuhanku yang mengetahui yang gaib, kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada yang tersembunyi bagi-Nya sekalipun seberat zarah baik yang di langit maupun yang di bumi, yang lebih kecil dari itu atau yang lebih besar, semuanya (tertulis) dalam kitab yang jelas (Lauḥ Maḥfūẓ).” (QS. Saba`: 3)

Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Āṣ raḍiyallāhu ‘anhumā, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Allah menuliskan takdir semua makhluk sebelum Dia menciptakan semua langit dan bumi selama lima puluh ribu tahun.’ Beliau melanjutkan, ‘Dan Arasy-Nya di atas air.'” (HR. Muslim)([1])

Dan diriwayatkan dari ‘Ubādah bin Aṣ-Ṣāmit raḍiyallāhu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya makhluk pertama yang diciptakan Allah Ta’ālā adalah Qalam (pena). Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah!’ Qalam berkata, ‘Tuhanku! Apa yang akan aku tuliskan?’ Allah berfirman, ‘Tuliskanlah takdir segala sesuatu sampai hari Kiamat.'” (HR. Abu Daud dan Tirmizi)([2])

Allah telah menyebutkan ilmu dan penulisan itu sekaligus dalam firman-Nya, “Tidakkah engkau tahu bahwa Allah mengetahui apa yang di langit dan di bumi? Sungguh, yang demikian itu sudah terdapat dalam sebuah Kitab (Lauḥ Maḥfūẓ). Sesungguhnya yang demikian itu sangat mudah bagi Allah.” (QS. Al-Ḥajj: 70)

Ketiga: Iman kepada kehendak Allah yang pasti terjadi

Apa yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak terjadi. Tidak ada yang bisa menghalangi apa yang Dia berikan, dan tidak ada yang bisa memberi apa yang Dia halangi. Tidak ada yang bisa menolak apa yang sudah Dia putuskan, dan tidak ada sesuatu pun yang terjadi dalam kerajaan-Nya yang tidak Dia kehendaki. Dia memberi petunjuk bagi orang yang Dia kehendaki karena karunia-Nya, dan menyesatkan siapa yang Dia kehendaki karena keadilan-Nya. Tidak ada yang dapat mengoreksi hukum-Nya.

Allah Ta’ālā berfirman,

“Kalau Allah menghendaki, niscaya orang-orang setelah mereka tidak akan berbunuh-bunuhan, setelah bukti-bukti sampai kepada mereka. Tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) yang kafir. Kalau Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Tetapi Allah berbuat menurut kehendak-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 253)

Dan juga berfirman,

“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang menghendaki menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. At-Takwīr: 28-29)

Keempat: Iman kepada penciptaan Allah terhadap semua makhluk

Allah adalah Sang Pencipta, dan selain-Nya adalah makhluk. Segala sesuatu, zatnya, sifatnya, dan pergerakannya adalah makhluk dan bersifat baru. Allahlah Pencipta dan yang mengadakannya. Allah Ta’ālā berfirman,

“Allah Pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.” (QS. Az-Zumar: 62)

Dan berfirman,

“Padahal Allahlah yang menciptakan kamu dan yang kamu perbuat.” (QS. Aṣ-Ṣāffāt: 96)

Jadi, semua perbuatan hamba adalah ciptaan Allah, dan sekaligus merupakan usaha/perbuatan mereka. Allah Ta’ālā berfirman,

“Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

Kelima: Meyakini bahwa tidak ada talāzum (keterikatan) antara kehendak dan cinta-Nya

Bisa jadi apa yang dikehendaki Allah merupakan sesuatu yang tidak Dia cintai; dan bisa jadi apa yang Dia cintai tidak Dia kehendaki. Semua itu berdasarkan hikmah yang tinggi, dan tujuan yang pasti. Allah Ta’ālā berfirman,

“Dan jika Kami menghendaki niscaya Kami berikan kepada setiap jiwa petunjuk (bagi)nya, tetapi telah ditetapkan perkataan (ketetapan) dari-Ku, ‘Pasti akan Aku penuhi neraka Jahanam dengan jin dan manusia bersama-sama.'” (QS. As-Sajdah: 13)

Dan Dia berfirman,

“Jika kamu kafir (ketahuilah) maka sesungguhnya Allah tidak memerlukanmu dan Dia tidak meridai kekafiran hamba-hamba-Nya. Jika kamu bersyukur, Dia meridai kesyukuran kamu itu.” (QS. Az-Zumar: 7)

Keenam: Meyakini bahwa tidak ada kontradiksi antara syariat dan takdir

Allah Ta’ālā berfirman,

“Sungguh, usahamu memang beraneka macam. Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan). Dan adapun orang yang kikir dan merasa dirinya cukup (tidak perlu pertolongan Allah), serta mendustakan (pahala) yang terbaik, maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kesukaran (kesengsaraan).” (QS. Al-Lail: 4-10)

Hal itu karena syariat adalah kitab yang terbuka, sedangkan takdir adalah sesuatu yang gaib lagi tersembunyi. Allah sudah menentukan takdir para hamba, dan menyembunyikan takdir itu dari mereka. Dia memerintahkan mereka, melarang mereka, mempersiapkan mereka, dan membekali mereka dengan segala sesuatu yang membuat mereka mampu untuk melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dia memberikan uzur untuk mereka jika mereka dihalangi oleh sesuatu yang termasuk penghalang taklif. Jadi, tidak ada hujah bagi seorang pun untuk melakukan maksiat dan meninggalkan ketaatan dengan alasan takdir yang sudah ditetapkan. Allah Ta’ālā berfirman,

“Orang-orang musyrik akan berkata, ‘Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.’ Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira.’ Katakanlah (Muhammad), ‘Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.'” (QS. Al-An’ām: 148-149)

Pertama, Allah mendustakan klaim mereka, kemudian yang kedua Allah merasakan siksaan-Nya kepada mereka. Jadi, kalau seandainya mereka memiliki hujah dengan takdir tersebut maka tentu Allah tidak akan merasakan azab-Nya kepada mereka. Kemudian yang ketiga: mereka tidak mengetahui apa yang ada di catatan mereka kemudian mereka melakukannya berdasarkan ilmu, sehingga itu bisa menjadi hujah yang menyelamatkan bagi mereka. Tetapi itu semua mereka lakukan berdasarkan pada prasangka dan perkiraan saja, tidak ada yang lainnya. Maka hujah itu pun menjadi milik Allah.

Dalam masalah takdir ini, ada dua kelompok yang tersesat, yaitu:

Pertama: Qadariyyah Nufāt

Mereka adalah orang-orang yang berlebihan dalam menetapkan perbuatan para hamba, dan mengingkari takdir Allah yang sudah ada. Mereka ini terdiri atas dua tingkatan:

  1. Gulāt (Kelompok Ekstrem)

Mereka adalah kaum Qadariyyah Nufāt yang pertama-tama, yang muncul pada akhir masa para sahabat raḍiyallāhu ‘anhum. Mereka mengklaim bahwa semua urusan itu baru dimulai (tanpa diketahui Allah). Para sahabat sudah membantah pendapat mereka ini, seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhum. Kelompok ekstrem ini mengingkari ilmu, kitābah (penulisan), kehendak, dan penciptaan.

  1. Kelompok Pertengahan

Mereka adalah sekte Muktazilah yang menetapkan ilmu dan kitābah (penulisan), tetapi mereka mengingkari kehendak dan penciptaan. Mereka mengklaim bahwa hamba menciptakan perbuatannya sendiri.

Kedua: Jabariyyah

Mereka adalah orang-orang yang berlebih-lebihan dalam menetapkan perbuatan Allah sehingga mereka mencabut (menafikan) kehendak dan kekuatan hamba. Mereka menjadikan perbuatan hamba itu sebagai gerakan yang terpaksa (tanpa keinginan), sebagaimana gerakan orang yang gemetaran. Mereka menafikan hikmah dan ta’līl (alasan) dari perbuatan Allah. Mereka ini juga terbagi menjadi dua tingkatan:

  1. Gulāt (Kelompok Ekstrem)

Mereka adalah orang-orang sufi zindik. Mereka mengklaim menyaksikan hakikat kauniyyah (alam semesta), sehingga membolehkan bagi diri mereka untuk melakukan apa pun dengan alasan sesuai dengan takdir. Tokoh golongan ini mengatakan, “Aku bereaksi terhadap apa yang Engkau pilihkan dariku, semua perbuatanku adalah ketaatan.”([3])

  1. Kelompok Pertengahan

Mereka adalah sekte Asyā’irah yang mengikuti teori “Al-Kasb“, dan menetapkan kekuatan hamba tanpa ada pengaruhnya.

Kedua kelompok di atas dibantah dengan dalil dari syariat dan realitas.

  1. Orang yang mengingkari keempat tingkatan takdir (ilmu, kitābah/penulisan, kehendak, dan penciptaan), sebagaimana sudah disebutkan, maka mereka dibantah dengan nas-nas tegas yang menetapkannya, dan juga dalil dari realitas yang ada bahwa seringkali seseorang hendak melakukan sesuatu, tetapi dia dihalangi oleh suatu penghalang antara dia dan keinginannya itu.
  2. Jabariyah Gulāt (Ekstrem) dalam menetapkan takdir, dibantah oleh nas-nas yang menetapkan adanya keinginan, perbuatan, dan kehendak seorang hamba. Dan juga dalil realitas bahwa semua manusia bisa membedakan antara perbuatan yang dilakukannya dengan keinginannya dan perbuatan yang terjadi karena terpaksa (tanpa diinginkannya).

Dan nas-nas syariat sangat banyak dalam menetapkan hikmah dan ta’līl (alasan) dari perbuatan Allah ‘Azza wa Jalla.

Baca Setelahnya…

Baca Sebelumnya…


([1])  HR. Muslim nomor 2653.

([2])  HR. Abu Daud nomor 4700, dan Tirmizi nomor 2155.

([3])  Lihat Al-Furqān baina Auliyā`i Ar-Raḥmān wa Auliyā`i Asy-Syaiṭān, halaman: 237.

Ditulis oleh Ustaz Muhammad Thalib, MA
Diambil dari website: mutiaradakwah.com
Print Artikel

Berlanggan Artikel Mutiara Dakwah

Berlangganlah secara gratis untuk mendapatkan email artikel terbaru dari situs ini.

Trending
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email

Tambahkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Agama dan Manhaj
Muhammad Thalib, MA

Agama dan Manhaj

Agama dan Manhaj Agama Allah itu satu, yaitu Islam. Allah berfirman, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (QS. Āli ‘Imrān: 19). Ini adalah agama Allah untuk orang-orang terdahulu sampai

Baca Selengkapnya »
Apa Saja Penyempurna Akidah?
Muhammad Thalib, MA

Apa Saja Penyempurna Akidah?

Penyempurna Akidah 1. Amar makruf dan nahi munkar Allah Ta’ālā berfirman, “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari

Baca Selengkapnya »

Apakah Anda Ingin Meningkatkan Bisnis Anda?

Tingkatkan dengan cara beriklan

Formulir anda berhasil dikirim, terimakasih

join mutiara dakwah

Subscribe agar anda mendapatkan artikel terbaru dari situs kami

join mutiara dakwah

Subscribe agar anda mendapatkan artikel terbaru dari situs kami

Hukum Shalat Memakai Masker Saat Pandemi Covid-19 Setiap Amalan Tergantung Niatnya Keutamaan Mempelajari Tafsir Alquran Mengkhatamkan Al-Qur`an Sebulan Sekali Pelajari Adab Sebelum Ilmu Kenapa Kita Harus Belajar Fikih Muamalat? Tata Cara Wudhu Yang Benar Pembagian Tauhid dan Maknanya Hukum Belajar Bahasa Inggris Kisah Rasulullah Hijrah Ke Madinah Mengajak Orang Lain Berbuat Baik, Tapi Lupa Diri Sendiri