Mengkhatamkan Al-Qur`an sebulan sekali memang salah satu perintah dari baginda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Namun apakah suatu kewajiban satu bulan mesti satu juz? Ataukah boleh kurang dari target khatam setiap bulan?
Bacalah Yang Mudah Bagimu
Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اقْرَإِ الْقُرْآنَ فِى شَهْرٍ. قُلْتُ: إِنِّى أَجِدُ قُوَّةً حَتَّى. قَالَ: فَاقْرَأْهُ فِى سَبْعٍ وَلاَ تَزِدْ عَلَى ذَلِكَ
“Bacalah (khatamkanlah) Al-Qur`an dalam sebulan.” Abdullah bin ‘Amr lalu berkata, “Aku mampu menambah lebih dari itu.” Beliau pun bersabda, “Bacalah (khatamkanlah) Al-Qur`an dalam tujuh hari, jangan lebih daripada itu.”[1]
Bukhari membuat judul bab untuk hadis ini,
باب فِى كَمْ يُقْرَأُ الْقُرْآنُ. وَقَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ )
“Bab Berapa Banyak Membaca Al-Qur`an?”. Lalu beliau menyebutkan firman Allah,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`an”[2].
Kata Ibnu Hajar bahwa yang dimaksud oleh Imam Bukhari dengan menyebutkan surat Al-Muzammil ayat 20 di atas berarti bukan menunjukkan batasan bahwa satu bulan harus satu juz. Dalam riwayat Abu Daud dari jalur lain dari Abdullah bin ‘Amr ketika Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Berapa hari mesti mengkhatamkan Al-Qur`an?” Beliau katakan 40 hari [artinya, satu hari bisa jadi kurang dari satu juz]. Kemudian Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjawab lagi, “Satu bulan.” [Artinya, satu hari bisa rata-rata mengkhatamkan satu juz][3].
Ibnu Hajar mengatakan,
لِأَنَّ عُمُوم قَوْله: ( فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ) يَشْمَل أَقَلّ مِنْ ذَلِكَ ، فَمَنْ اِدَّعَى التَّحْدِيد فَعَلَيْهِ الْبَيَان
“Karena keumuman firman Allah yang artinya, ‘Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`an’ mencakup pula jika kurang dari itu (kurang dari satu juz). Barangsiapa yang mengklaim harus dengan batasan tertentu, maka ia harus datangkan dalil (penjelas).”[4]
Ibnu Hajar juga menukil perkataan Imam Nawawi,
وَقَالَ النَّوَوِيّ : أَكْثَر الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا تَقْدِير فِي ذَلِكَ ، وَإِنَّمَا هُوَ بِحَسَبِ النَّشَاط وَالْقُوَّة ، فَعَلَى هَذَا يَخْتَلِف بِاخْتِلَافِ الْأَحْوَال وَالْأَشْخَاص
“Imam Nawawi berkata, ‘Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada batasan hari dalam mengkhatamkan Al-Qur`an, semuanya tergantung pada semangat dan kekuatan. Dan ini berbeda-beda satu orang dan lainnya dilihat dari kondisi dan orangnya.’”[5]
Bacalah Walau Lima Ayat
Abu Sa’īd Al-Khudri ketika ditanya firman Allah,
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآَنِ
“Karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur`an”[6]. Jawab beliau, “Iya betul. Bacalah walau hanya lima ayat.” Disebutkan dalam Tafsīr Al-Qur`ān Al–‘Aẓīm, 7: 414, terbitan Dār Ibnul Jauzi, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Dalam riwayat Aṭ-Ṭabari disebutkan dengan sanad yang shohih, dijawab oleh Abu Sa’īd, “Walau hanya lima puluh ayat.”[7]
Dari As-Sudi, ditanya mengenai ayat di atas, maka beliau jawab, “Walau 100 ayat.”[8]
Tadabbur itu Lebih Utama
Imam Nawawi raḥimahullāh berkata,
وَالِاخْتِيَار أَنَّ ذَلِكَ يَخْتَلِف بِالْأَشْخَاصِ ، فَمَنْ كَانَ مِنْ أَهْل الْفَهْم وَتَدْقِيق الْفِكْر اُسْتُحِبَّ لَهُ أَنْ يَقْتَصِر عَلَى الْقَدْر الَّذِي لَا يَخْتَلّ بِهِ الْمَقْصُود مِنْ التَّدَبُّر وَاسْتِخْرَاج الْمَعَانِي ، وَكَذَا مَنْ كَانَ لَهُ شُغْل بِالْعِلْمِ أَوْ غَيْره مِنْ مُهِمَّات الدِّين وَمَصَالِح الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّة يُسْتَحَبّ لَهُ أَنْ يَقْتَصِر مِنْهُ عَلَى الْقَدْر الَّذِي لَا يُخِلّ بِمَا هُوَ فِيهِ ، وَمَنْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ فَالْأَوْلَى لَهُ الِاسْتِكْثَار مَا أَمْكَنَهُ مِنْ غَيْر خُرُوج إِلَى الْمَلَل وَلَا يَقْرَؤُهُ هَذْرَمَة . وَاللَّهُ أَعْلَم
“Waktu mengkhatamkan tergantung pada kondisi tiap orang. Jika seseorang adalah yang paham dan punya pemikiran mendalam, maka dianjurkan padanya untuk membatasi pada kadar yang tidak membuat ia luput dari tadabbur dan menyimpulkan makna-makna dari Al-Qur`an. Adapun seseorang yang punya kesibukan dengan ilmu atau urusan agama lainnya dan mengurus maslahat kaum muslimin, dianjurkan baginya untuk membaca sesuai kemampuannya dengan tetap melakukan tadabbur (perenungan). Jika tidak bisa melakukan perenungan seperti itu, maka perbanyaklah membaca sesuai kemampuan tanpa keluar dari aturan dan tanpa tergesa-gesa. Wallahu a’lam. ”[9]
Kata Syekh Kholid bin Abdillah Al-Muṣliḥ, “Aku mewasiatkan pada saudara/i-ku untuk bersungguh-sungguh menggabungkan antara memperbanyak baca Al-Qur`an ditambah dengan tadabbur supaya benar-benar bisa meraih berbagai kebaikan.”[10]
Semoga Allah memberi taufik pada kita untuk rajin memperhatikan dan mentadabburi Al-Qur`an.
Catatan Kaki[+]
↑1 | HR. Bukhari No. 5054 |
---|---|
↑2 | QS. Al Muzammil: 20 |
↑3 | Lihat Fatḥul Bari, 9: 95, terbitan Dār Ṭiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H |
↑4 | Fatḥul Bari, 9: 95 |
↑5 | Fatḥul Bari, 9: 97 |
↑6 | QS. Al-Muzammil: 20 |
↑7 | Diriwayatkan oleh Aṭ-Ṭabari, 29: 170, terbitan Dār Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1423 H |
↑8 | Idem |
↑9 | Dinukil dari Fatḥul Bari, 9: 97 |
↑10 | Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/33620 |