Nasihat merupakan pilar ajaran Islam. Di antara bentuk nasihat yang wajib dilakukan oleh setiap muslim adalah memberikan nasihat kepada saudaranya sesama muslim. Namun, nasihat ini tidak sempit sebagaimana yang diduga oleh sebagian orang. Karena hakikat dari nasihat adalah menghendaki kebaikan bagi saudaranya. Lawan dari nasihat adalah melakukan penipuan. Sementara menipu merupakan dosa besar yang merusak keimanan seorang hamba. Maka sudah semestinya setiap muslim bersemangat untuk menunaikan nasihat kepada sesama saudaranya demi terjaganya iman di dalam dirinya dan demi kebaikan saudaranya.
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ، بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى إِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالنُّصْحِ لِكُلِّ مُسْلِمٍ
Dari Jarir bin Abdillah raḍiyallāhu ‘anhu, dia berkata: “Aku berbaiat kepada Rasulullah ﷺ untuk senantiasa mendirikan salat, menunaikan zakat, dan nasihat (menghendaki kebaikan) bagi setiap muslim.” [1]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ قِيلَ مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللَّهَ فَسَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda,“Kewajiban seorang muslim atas muslim yang lain ada enam.” Lalu ada yang bertanya,“Apa itu ya Rasulullah?” Maka beliau menjawab, “Apabila kamu bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, apabila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, apabila dia meminta nasihat kepadamu maka berilah nasihat kepadanya, apabila dia bersin lalu memuji Allah maka doakanlah dia -dengan bacaan yarḥamukallah-, apabila dia sakit maka jenguklah dia, dan apabila dia meninggal maka iringilah jenazahnya.” [2]
An-Nawawi raḥimahullāh berkata:
فَمَعْنَاهُ طَلَبَ مِنْك النَّصِيحَة، فَعَلَيْك أَنْ تَنْصَحهُ، وَلَا تُدَاهِنهُ، وَلَا تَغُشّهُ، وَلَا تُمْسِك عَنْ بَيَان النَّصِيحَة
“Maknanya: -apabila- dia meminta nasihat darimu, maka wajib bagimu untuk menasihatinya, jangan hanya mencari muka di hadapannya, jangan pula menipunya, dan janganlah kamu menahan diri untuk menerangkan nasihat –kepadanya-.” [3]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لِلْمُؤْمِنِ عَلَى الْمُؤْمِنِ سِتُّ خِصَالٍ: يَعُودُهُ إِذَا مَرِضَ وَيَشْهَدُهُ إِذَا مَاتَ وَيُجِيبُهُ إِذَا دَعَاهُ وَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إِذَا لَقِيَهُ وَيُشَمِّتُهُ إِذَا عَطَسَ وَيَنْصَحُ لَهُ إِذَا غَابَ أَوْ شَهِدَ
Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada enam kewajiban seorang muslim kepada mukmin yang lain: Apabila saudaranya sakit hendaknya dia jenguk. Apabila dia akan meninggal hendaknya dia ikut menyaksikannya. Apabila bertemu maka hendaknya dia ucapkan salam kepadanya. Apabila dia bersin hendaknya mendoakannya. Dan apabila dia pergi/tidak ada atau sedang hadir -ada di hadapannya- maka hendaknya dia bersikap nasihat kepadanya.”[4]
Al-Mubarakfuri rahimahullah berkata:
وَحَاصِلُهُ أَنَّهُ يُرِيدُ خَيْرَهُ فِي حُضُورِهِ وَغَيْبَتِهِ، فَلَا يَتَمَلَّقُ فِي حُضُورِهِ وَيَغْتَابُ فِي غَيْبَتِهِ فَإِنَّ هَذَا صِفَةُ الْمُنَافِقِينَ
“Kesimpulannya adalah hendaknya seorang muslim senantiasa menginginkan kebaikan bagi saudaranya, baik ketika dia ada ataupun tidak ada, dan janganlah dia hanya senang mencari muka ketika berada di hadapannya dan menggunjingnya apabila saudaranya itu tidak ada di hadapannya, karena sesungguhnya hal ini termasuk ciri orang-orang munafik.” [5]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا، فَقَالَ: مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ؟ قَالَ: أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ: أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ؟ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah ﷺ suatu ketika melalui setumpuk makanan -yang dijual- kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalamnya lalu jari beliau menemukan basah-basah di dalamnya. Maka beliau berkata,“Wahai pemilik/penjual makanan, kenapa ini?” Dia menjawab, “Terkena air hujan ya Rasulullah.” Maka Nabi berkata, “Mengapa kamu tidak meletakkannya di atas tumpukan makanan itu supaya orang-orang bisa melihatnya? Barangsiapa yang menipu maka dia bukan termasuk golongan kami.” [6]
Aṣ- Ṣan’ani raḥimahullāh berkata:
وَالْحَدِيثُ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِ الْغِشِّ وَهُوَ مُجْمَعٌ عَلَى تَحْرِيمِهِ شَرْعًا مَذْمُومٌ فَاعِلُهُ عَقْلًا
“Hadis ini merupakan dalil yang menunjukkan diharamkannya penipuan, dan hal itu adalah perkara yang telah disepakati keharamannya berdasarkan syariat dan dicela pelakunya menurut logika.” [7]
Syekh Ibnu Utsaimin raḥimahullāh berkata:
ومن حقوق المسلم على المسلم أن تنصحه إذا استنصحك، فتشير عليه بما تحبه لنفسك، فإن من غش فليس منا، فإذا شاورك في معاملة شخص أو في تزويجه أو غيره، فإن كنت تعلم منه خيرا فأرشده إليه، وإن كنت تعلم منه شرا، فحذره، وإن كنت لا تدري عنه، فقل له: لا أدري عنه، وإن طلب أن تبين له شيئا من الأمور التي تقتضي البعد عنه، فبينه له
“Di antara kewajiban seorang muslim atas muslim yang lain adalah kamu harus menasihatinya jika dia meminta nasihat kepadamu, sehingga kamu akan menunjukkan kepadanya apa yang kamu senangi untuk dirimu sendiri, karena orang yang menipu bukan termasuk golongan kita. Apabila dia bermusyawarah kepadamu -meminta saran- ketika berhubungan dengan seseorang atau dalam urusan pernikahannya atau urusan yang lain, maka apabila kamu mengetahui kebaikan darinya maka arahkanlah ia kepadanya. Apabila kamu mengetahui keburukan darinya maka peringatkanlah dia darinya. Apabila kamu tidak mengetahui tentangnya maka katakanlah kepadanya; aku tidak tahu tentangnya. Apabila dia meminta kamu untuk menerangkan sesuatu perkara yang semestinya dia menjauh darinya maka terangkanlah hal itu kepadanya.” [8]
Syekh Abdullah bin Jarullah berkata:
وإذا استنصحك فانصح له أي إذا استشارك في عمل من الأعمال هل يعمله أم لا؟ فانصح له بما تحب لنفسك فإن كان العمل نافعا من كل وجه فحثه على فعله وإن كان مضرا فحذره منه وإن احتوى على نفع وضر فاشرح له ذلك ووازن بين المنافع والمضار والمصالح والمفاسد وكذلك إذا شاورك في معاملة أحد من الناس أو التزوج منه أو تزويجه فأظهر له محض نصحك واعمل له من الرأي ما تعمله لنفسك وإياك أن تغشه في شيء من ذلك فمن غش المسلمين فليس منهم وقد ترك واجب النصيحة، وهذه النصيحة واجبة على كل حال ولكنها تتأكد إذا استنصحك وطلب منك الرأي النافع
“Apabila dia meminta nasihat kepadamu maka berilah nasihat kepadanya, artinya apabila dia meminta masukan kepadamu mengenai suatu pekerjaan apakah dia sebaiknya melakukannya atau tidak? Maka nasihatilah dia dengan sesuatu yang kamu sukai bagi dirimu. Apabila pekerjaan itu bermanfaat dari berbagai sisi maka doronglah dia untuk melakukannya. Apabila hal itu berbahaya maka peringatkanlah dia darinya. Apabila hal itu mengandung manfaat dan madharat maka jelaskanlah kepadanya hal itu, dan bandingkanlah untuknya antara manfaat dan madharat, atau maslahat dan mafsadat yang ada. Demikian juga apabila dia meminta saran kepadamu dalam urusan muamalah dengan seseorang atau hendak menikah dengannya maka tunjukkanlah kepadanya sikap tulusmu dalam memberikan nasihat. Gunakanlah pendapat dalam menasihatinya dengan pendapat yang kamu sukai bagi dirimu. Janganlah kamu menipunya dalam perkara itu. Karena barangsiapa yang menipu kaum muslimin maka dia bukan termasuk golongan mereka dan dia telah meninggalkan kewajiban nasihat. nasihat ini hukumnya wajib -secara mutlak- dalam kondisi apapun, akan tetapi kewajiban ini semakin ditekankan tatkala dia meminta nasihat kepadamu dan meminta saran yang bermanfaat kepadamu.” [9]
عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا
Dari Fatimah binti Qais raḍiyallāhu ‘anhā, dia menuturkan bahwa suatu ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm ingin melamarku, maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Adapun Abu Jahm, dia itu tidak pernah meletakkan tongkatnya dari bahunya. Adapun Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tak berharta. Menikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun aku tidak menyukainya. Lalu beliau bersabda, “Menikahlah dengan Usamah.” Maka akupun menikah dengannya sehingga Allah menjadikan kebaikan padanya [10]
An-Nawawi raḥimahullāh berkata:
وَفِيهِ دَلِيل عَلَى جَوَاز ذِكْر الْإِنْسَان بِمَا فِيهِ عِنْد الْمُشَاوَرَة وَطَلَب النَّصِيحَة وَلَا يَكُون هَذَا مِنْ الْغِيبَة الْمُحَرَّمَة بَلْ مِنْ النَّصِيحَة الْوَاجِبَة . وَقَدْ قَالَ الْعُلَمَاء إِنَّ الْغِيبَة تُبَاح فِي سِتَّة مَوَاضِع أَحَدهَا الِاسْتِنْصَاح
“Di dalam hadis ini terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menyebutkan apa-apa yang terdapat pada diri seseorang ketika bermusyawarah dan meminta nasihat, dan hal ini tidak termasuk dalam perbuatan gibah/menggunjing yang diharamkan, bahkan hal ini adalah nasihat yang wajib. Para ulama mengatakan bahwa gibah diperbolehkan pada enam keadaan, salah satunya adalah ketika dimintai nasihat -pendapat tentang orang lain yang hendak dinikahi atau menjadi rekan bisnis dan semacamnya, pent-.” [11]
وقد سمع أبو تراب النخشبي أحمد بن حنبل وهو يتكلم في بعض الرواة فقال له: أتغتاب العلماء؟! فقال له: ويحك! هذا نصيحة، ليس هذا غيبة.
Abu Turab An-Nakhasyabi pernah mendengar Ahmad bin Hanbal ketika dia sedang membicarakan/mengkritik sebagian periwayat. Maka dia berkata kepadanya, “Apakah kamu menggunjing para ulama?!”. Maka beliau berkata kepadanya, “Celaka kamu! Ini adalah nasihat, ini bukan gibah.” [12]
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang yang bisa menunaikan kewajiban yang agung ini dan menjadikan kita sebagai orang-orang yang saling memberikan nasihat dengan ikhlas karena-Nya. Wallahul muwaffiq. Wa ṣallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala ālihi wa ṣahbihi wa sallam. Walḥamdulillahi Rabbil ‘ālamin.
Catatan Kaki[+]
↑1 | HR. Bukhari dan Muslim |
---|---|
↑2 | HR. Muslim |
↑3 | Syarḥ Muslim [7/295] Asy-Syamilah |
↑4 | HR. Tirmidzi, beliau berkata hadis hasan sahih |
↑5 | Tuḥfat al-Ahwadzi [7/44] Asy-Syamilah |
↑6 | HR. Muslim |
↑7 | As-Subul As-Salam [4/134] Asy-Syamilah |
↑8 | Aḍ- Ḍiya’ Al-Lami’ Min Al-Khuṭab Al-Jawami’ [1/233] Asy-Syamilah |
↑9 | Kamāl Ad-Dīn Al-Islāmi Wa Ḥaqīqatuhu Wa Mazāyahu, hal 77. lihat juga Bahjat Al-Qulūb Al-Abrār, hal 114 Asy-Syamilah |
↑10 | HR. Muslim |
↑11 | Syarḥ Muslim [5/240] Asy-Syamilah |
↑12 | Disebutkan dalam Al-Ba’iṡ Al-Haṡiṡ, hal. 36 Asy-Syamilah |