Pengertian Tauhid
Tauhid secara Bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari fi’il waḥḥada-yuwaḥḥidu, yang artinya “menjadikan sesuatu satu saja”.
Syekh Muhammad bin Ṣāliḥ Al-Uṡaimin berkata: “Makna tauhid ini tidak tepat kecuali diikuti dengan penafian. Yaitu menafikan segala sesuatu selain sesuatu yang kita jadikan satu saja, kemudian baru menetapkannya.”[1]
Secara istilah syari, makna tauhid adalah menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya.[2]
Dari makna ini sesungguhnya dapat dipahami bahwa banyak hal yang dijadikan sesembahan oleh manusia, bisa jadi berupa Malaikat, para Nabi, orang-orang salih atau bahkan makhluk Allah yang lain, namun seorang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan saja.
Pembagian Tauhid
Dari hasil pengkajian terhadap dalil-dalil tauhid yang dilakukan para ulama sejak dahulu hingga sekarang, mereka menyimpulkan bahwa ada tauhid terbagi menjadi tiga: Tauhid Rubūbiyyah, Tauhid Ulūhiyyah, dan Tauhid Al-Asmā` Waṡ-Ṡifāt.
Tauhid Rububiyyah
Yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa Allah Ta’ālā adalah Rabb, Raja, dan Pencipta semua makhluk, dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka.[3]
Meyakini rububiyyah yaitu meyakini kekuasaan Allah dalam mencipta dan mengatur alam semesta, misalnya meyakini bumi dan langit serta isinya diciptakan oleh Allah, Allah-lah yang memberikan rizki, Allah yang mendatangkan badai dan hujan, Allah yang menggerakan bintang-bintang, dll.
Di nyatakan di dalam Al-quran:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ
“Segala puji bagi Allah Yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.”[4]
Dan perhatikanlah baik-baik, tauhid rububiyyah ini diyakini semua orang, baik mukmin, maupun kafir, sejak dahulu hingga sekarang. Bahkan mereka menyembah dan beribadah kepada Allah. Hal ini dikabarkan dalam Alquran:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan mereka?’ Niscaya mereka menjawab: ‘Allah’.”[5]
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu mereka akan menjawab: ‘Allah’.”[6]
Oleh karena itu kita dapati ayahanda dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bernama Abdullah, yang artinya hamba Allah. Padahal ketika Abdullah diberi nama demikian, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tentunya belum lahir.
Adapun yang tidak mengimani rububiyyah Allah adalah kaum komunis ateis.
Syekh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Orang-orang komunis tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan keyakinan mereka yang demikian, berarti mereka lebih kufur daripada orang-orang kafir jahiliyah.”[7]
Pertanyaan: jika orang kafir jahiliah sudah menyembah dan beribadah kepada Allah sejak dahulu, lalu apa yang diperjuangkan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat? Mengapa mereka berlelah-lelah penuh penderitaan dan mendapat banyak perlawanan dari kaum kafirin?
Jawabannya: meski orang kafir jahiliah beribadah kepada Allah, mereka tidak bertauhid uluhiyyah kepada Allah, dan inilah yang diperjuangkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Tauhid Uluhiyyah
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang ẓāhir maupun yang batin.[8]
Dalilnya:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.”[9]
Sedangkan makna ibadah adalah, semua hal yang dicintai oleh Allah baik berupa perkataan maupun perbuatan.
Apa maksud ‘yang dicintai Allah’?
Yaitu segala sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, segala sesuatu yang dijanjikan balasan kebaikan bila melakukannya. Seperti salat, puasa, bersedekah, menyembelih. Termasuk ibadah juga berdoa, cinta, bertawakkal, istigasah dan istianah.
Maka seorang yang bertauhid uluhiyyah hanya meyerahkan semua ibadah ini kepada Allah semata, dan tidak kepada yang lain. Sedangkan orang kafir jahiliah selain beribadah kepada Allah mereka juga memohon, berdoa, beristigasah kepada selain Allah. Dan inilah yang diperangi Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, ini juga inti dari ajaran para Nabi dan Rasul seluruhnya, mendakwahkan tauhid uluhiyyah.
Allah Ta’ālā berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu’.”[10]
Syekh Dr. Ṣolih Al-Fauzan berkata: “Dari tiga bagian tauhid ini yang paling ditekankan adalah tauhid uluhiyyah. Karena ini adalah misi dakwah para rasul, dan alasan diturunkannya kitab-kitab suci, dan alasan ditegakkannya jihad di jalan Allah. Semua itu adalah agar hanya Allah saja yang disembah, dan agar penghambaan kepada selain-Nya ditinggalkan.”[11]
Perhatikanlah, sungguh aneh jika ada sekelompok ummat Islam yang sangat bersemangat menegakkan syariat, berjihad dan memerangi orang kafir, namun mereka tidak memiliki perhatian serius terhadap tauhid uluhiyyah. Padahal tujuan ditegakkan syariat, jihad adalah untuk ditegakkan tauhid uluhiyyah. Mereka memerangi orang kafir karena orang kafir tersebut tidak bertauhid uluhiyyah, sedangkan mereka sendiri tidak perhatian terhadap tauhid uluhiyyah??
Tauhid Al-Asmā` Waṡ-Ṡifāt
Sedangkan Tauhid Al-Asmā` Waṡ-Ṡifāt adalah mentauhidkan Allah Ta’ālā dalam penetapan nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan yang Ia tetapkan bagi diri-Nya dalam Alquran dan Hadis Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Cara bertauhid asmā` waṡ-ṡifāt Allah ialah dengan menetapkan nama dan sifat Allah sesuai yang Allah tetapkan bagi diri-Nya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari diri-Nya, dengan tanpa tahrif, tanpa ta’ṭil dan tanpa takyif.[12]
Allah Ta’ala berfirman:
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا
“Hanya milik Allah asmāul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmāul husna itu.”[13]
Tahrif adalah memalingkan makna ayat atau hadis tentang nama atau sifat Allah dari makna ẓahir-nya menjadi makna lain yang batil. Sebagai misalnya kata ‘istiwa’ yang artinya ‘bersemayam’ dipalingkan menjadi ‘menguasai’.
Ta’ṭil adalah mengingkari dan menolak sebagian sifat-sifat Allah. Sebagaimana sebagian orang yang menolak bahwa Allah berada di atas langit dan mereka berkata Allah berada di mana-mana.
Takyif adalah menggambarkan hakikat wujud Allah. Padahal Allah sama sekali tidak serupa dengan makhluknya, sehingga tidak ada makhluk yang mampu menggambarkan hakikat wujudnya. Misalnya sebagian orang berusaha menggambarkan bentuk tangan Allah, bentuk wajah Allah, dan lain-lain.
Adapun penyimpangan lain dalam tauhid asmā` waṡ-ṡifāt Allah adalah tasybīh dan tafwiḍ.
Tasybīh adalah menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Padahal Allah berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.”[14]
Kemudian tafwiḍ, yaitu tidak menolak nama atau sifat Allah namun enggan menetapkan maknanya.
Misalnya sebagian orang yang berkata: “Allah Ta’ālā memang ber-istiwa di atas ‘Arsy, namun kita tidak tahu maknanya. Makna istiwa kita serahkan kepada Allah”.
Pemahaman ini tidak benar karena Allah Ta’ālā telah mengabarkan sifat-sifat-Nya dalam Alquran dan Sunah agar hamba-hamba-Nya mengetahui. Dan Allah telah mengabarkannya dengan bahasa Arab yang jelas dipahami.
Maka jika kita berpemahaman tafwiḍ maka sama dengan menganggap perbuatan Allah mengabarkan sifat-sifat-Nya dalam Alquran adalah sia-sia karena tidak dapat dipahami oleh hamba-Nya.
Pentingnya Mempelajari Tauhid
Banyak orang yang mengaku Islam. Namun jika kita tanyakan kepada mereka, apa itu tauhid? Bagaimana tauhid yang benar? maka sedikit sekali orang yang dapat menjawabnya.
Sungguh ironis melihat realita orang-orang yang mengidolakan artis-artis atau pemain sepakbola saja begitu hafal dengan nama, hobi, alamat, sifat, bahkan keadaan mereka sehari-hari.
Di sisi lain seseorang mengaku menyembah Allah namun ia tidak mengenal Allah yang disembahnya. Ia tidak tahu bagaimana sifat-sifat Allah, tidak tahu nama-nama Allah, tidak mengetahui apa hak-hak Allah yang wajib dipenuhinya. Yang akibatnya, ia tidak mentauhidkan Allah dengan benar dan terjerumus dalam perbuatan syirik. Wal’iyāżubillāh.
Maka sangat penting dan urgen bagi setiap muslim mempelajari tauhid yang benar, bahkan inilah ilmu yang paling utama.
Syekh Muhammad bin Ṣāliḥ Al-Uṡaimin pernah berkata: “Sesungguhnya ilmu tauhid adalah ilmu yang paling mulia dan yang paling agung kedudukannya. Setiap muslim wajib mempelajari, mengetahui, dan memahami ilmu tersebut, karena merupakan ilmu tentang Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, tentang nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas hamba-Nya.”[15]
Catatan Kaki[+]
↑1 | Syarḥ Ṡalāṡatil Uṣūl, 39 |
---|---|
↑2 | Syarḥ Ṡalāṡatil Uṣūl, 39 |
↑3 | Al-Jadid Syarḥ Kitāb Tauhid, 17 |
↑4 | QS. Al-An’ām: 1 |
↑5 | QS. Az-Zukhruf: 87 |
↑6 | QS. Al-‘Ankabūt: 61 |
↑7 | Lihat Minhaj Firqotin Nājiyyah |
↑8 | Al–Jadid Syarḥ Kitāb Tauhid, 17 |
↑9 | Al-Fātiḥah: 5 |
↑10 | QS. An Nahl: 36 |
↑11 | Lihat Syarḥ Aqīdah Aṭ-Ṭahawiyah |
↑12 | Lihat Syarḥ Ṡalāṡatil Uṣūl |
↑13 | QS. Al-A’raf: 180 |
↑14 | QS. Asy-Syūra: 11 |
↑15 | Syarḥ Uṣūlil Īmān, 4 |