Al-QUR`ĀN
Al-Qur`ān adalah kalām (perkataan/firman) Allah. Allah Ta’ālā berfirman,
“Dan jika di antara kaum musyrikin ada yang meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah agar dia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah dia ke tempat yang aman baginya. (Demikian) itu karena sesungguhnya mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS. At-Taubah: 6)
Dan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika beliau menawarkan dirinya kepada kabilah-kabilah pada musim haji, “Adakah seorang laki-laki yang mau membawaku ke kaumnya, karena sesungguhnya Quraisy menghalangiku untuk menyampaikan firman Tuhanku.” (HR. Lima ahli hadis)([1])
Al-Qur`ān adalah firman hakiki Allah Ta’ālā, baik huruf dan juga maknanya, tidak menyerupai perkataan para makhluk; Al-Qur`ān itu diturunkan dan bukan merupakan makhluk; Allah berbicara dengan firman-Nya itu dari awal, kemudian Dia mewahyukannya kepada Ar-Rūḥul-Amīn, Jibril; Al-Qur`ān itu dibawanya turun ke hati Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, secara berangsur-angsur; kemudian Nabi membacakannya kepada manusia. Allah Ta’ālā berfirman,
“Dan Al-Qur`ān (Kami turunkan) berangsur-angsur agar engkau (Muhammad) membacakannya kepada manusia perlahan-lahan dan Kami menurunkannya secara bertahap.” (QS. Al-Isrā`: 106)
Apabila Al-Qur`ān itu dibaca manusia, mereka tuliskan di mushaf, atau mereka hafalkan di dada, maka itu semua tidak mengeluarkannya dari hakikat perkataan Allah, karena perkataan itu dinisbahkan kepada siapa yang mengatakannya pertama kali, bukan kepada orang yang mengucapkannya dalam rangka menyampaikannya. Tilawah (membaca) bukan berarti yang dibaca, menulis bukan berarti yang ditulis, menghafal bukan berarti yang dihafal, demikian juga berbagai tindakan lainnya. Perbuatan merupakan perbuatan orang yang membaca, menulis, ataupun menghafal, sementara perkataan adalah perkataan Allah. Allah Ta’ālā berfirman,
“Katakanlah, ‘Rūḥul-Qudus (Jibril) menurunkan Al-Qur`ān itu dari Tuhanmu dengan kebenaran, untuk meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah).’ Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, ‘Sesungguhnya Al-Qur`ān itu hanya diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).’ Bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa Muhammad belajar) kepadanya adalah bahasa Ajam, padahal ini (Al-Qur`ān) adalah dalam bahasa Arab yang jelas.” (QS. An-Naḥl: 102-103)
Allah telah mengafirkan orang yang menisbahkan Al-Qur`ān kepada perkataan manusia, dan mengancamnya dengan neraka Saqar. Dia berfirman,
“Kelak, Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar.” (QS. Al-Muddaṡṡir: 26)
Dalam bab ini, terdapat dua kelompok yang tersesat, yaitu:
Pertama: Jahmiyah dan Muktazilah
Mereka adalah orang yang mengingkari sifat-sifat Allah dan menafikan kalām (firman)-Nya. Mereka mengklaim bahwa penyandarakan kalām kepada Allah termasuk penyandaran makhluk kepada Al-Khāliq, seperti halnya Abdullah, Baitullah, dan Unta Allah, bukan termasuk penyandaran sifat kepada yang disifati.
Bantahan terhadap mereka, bahwa sesuatu yang disandarkan kepada Allah itu ada dua hal, yaitu: (1) benda yang berdiri sendiri, maka ini termasuk bagian dari penyandaran makhluk kepada Al-Khāliq; (2) penyandaran sifat yang tidak bisa dibayangkan akan berdiri sendiri, seperti hidup, mendengar, melihat, ilmu, dan perkataan. Maka ini termasuk penyandaran sifat kepada sesuatu yang memiliki sifat tersebut.
Di samping itu, klaim kelompok ini bertentangan dengan Al-Qur`ān, Sunnah dan Ijmak.
Kedua: Aṣ-Ṣifātiyyah dari sekte Kullābiyyah, Asyā’irah, dan Māturīdiyyah
Mereka adalah orang-orang yang menetapkan kalām (perkataan) Allah dalam artian makna yang bersifat qadīm (dahulu) serta berdiri sendiri. Adapun huruf dan suaranya adalah makhluk untuk mengungkapkan perkataan tersebut, atau untuk menghikayatkan makna qadīm yang tidak berulang-ulang, dan tidak berkaitan dengan keinginan Allah.
Mereka membatasi kalām (perkataan) Allah pada makna-maknanya saja, tanpa huruf dan suara. Mereka menjadikan apa yang didengar oleh kedua orang tua kita (Adam dan Hawa) di surga dan juga apa yang didengar oleh Musa di dekat pohon merupakan makhluk, bukan kalām (perkataan) Allah yang hakiki.
Bantahan terhadap mereka, bahwasanya perkataan itu tidak dikatakan perkataan kecuali apabila memiliki kedua unsur di atas. Sementara itu perkataan jiwa tidak dikatakan perkataan pada hakikatnya.
Di samping itu, klaim mereka ini bertentangan dengan Al-Qur`ān, Sunnah, dan Ijmak.
AR-RU`YAH (MELIHAT ALLAH)
Di antara hal yang termasuk keimanan dengan Allah dan hari Akhir adalah keyakinan bahwa orang-orang mukmin akan melihat Tuhan mereka pada hari kiamat, dengan mata kepala mereka, tanpa iḥātah (tanpa bisa meliputi Allah secara keseluruhan). Dan hal itu akan terjadi di dua tempat, yaitu:
Pertama: di ‘Araṣāt Kiamat, maksudnya di tempat proses hisab
Kedua: Setelah mereka masuk surga
Allah Ta’ālā berfirman,
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya.” (QS. Al-Qiyāmah: 22-23)
“Mereka (duduk) di atas dipan-dipan melepas pandangan.” (QS. Al-Muṭaffifīn: 23)
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (kenikmatan melihat Allah).” (QS. Yūnus: 26).
Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah menafsirkan maksud dari lafal “tambahannya” dalam ayat dengan melihat wajah Allah yang mulia.([2])
Dan beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika melihat bulan pada malam purnama, “Sesungguhnya kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat bulan ini, dan kalian tidak berdesak-desakan dalam melihat-Nya.”([3])
Dalam bab ini, terdapat dua kelompok yang tersesat, yaitu:
Pertama: Nufāt Aṣ–Ṣifāt dari sekte Jahmiyah, Muktazilah, dan Rafidah serta Ibāḍiyah yang sepakat dengan mereka
Mereka ini mengingkari ru`yah (melihat Allah pada hari Kiamat). Dalil mereka adalah firman Allah Ta’ālā kepada Musa, “Engkau tidak akan melihatku.”(QS. Al-A’rāf: 143), dan firman-Nya, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata.” (QS. Al-An’ām: 103)
Bantahan terhadap mereka: bahwa maksud dari firman Allah “Engkau tidak akan melihatku” adalah di dunia, sebagaimana diminta oleh Musa. Kata-kata Lan (tidak akan) bukan berarti menafikan selama-lamanya. Kemudian, penafian Al-Idrāk maksudnya adalah penafian terhadap penglihatan kepadanya secara keseluruhan, bukan berarti penafian terhadap penglihatan, karena bisa saja penglihatan itu terjadi, namun tidak bisa melingkupi semuanya, sebagaimana ketika kita melihat matahari, bulan, gunung, dan sebagainya.
Di samping itu, nas-nas Al-Qur`ān dan Sunnah juga sudah mutawatir dalam menetapkan adanya ru`yah (penglihatan kepada Allah).
Kedua: Para ahli khurafat dari kalangan Sufi dan ahli bidah
Mereka adalah orang-orang yang berlebihan dalam menetapkan adanya ru`yah, dan mencari-cari jalan untuk menetapkan kejadiannya terhadap para wali mereka di dunia. Mereka meriwayatkan hadis-hadis mauḍū’ (palsu) tentang hal ini. Padahal Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sudah bersabda,
“Ketahuilah! Kalian tidak akan melihat Tuhan kalian sampai kalian meninggal.”([4])
([1]) HR. Ahmad nomor 15192, Abu Daud nomor 4734, Tirmizi nomor 2925, An-Nasa`i di As-Sunan Al-Kubra nomor 7680, dan Ibnu Majah nomor 201, dari hadis Jabir raḍiyallāhu ‘anhu.
([2]) HR. Muslim nomor 181 dari hadis Ṣuhaib raḍiyallāhu ‘anhu. Lihat Tafsir Aṭ-Ṭabariy: 12/155.
([3]) HR. Bukhari nomor 554, dan Muslim nomor 633, dari hadis Jarir raḍiyallāhu ‘anhu.
([4]) HR. Ahmad nomor 22864, Nasa`i di As-Sunan Al-Kubrā nomor 7716, Al-Ājurriy di Asy-Syarī’ah nomor 881, dan lafal hadis ini miliknya, dari hadis ‘Ubādah raḍiyallāhu ‘anhu. Dan juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah nomor 4077, dari hadis Abi Umāmah raḍiyallāhu ‘anhu.