يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munāfiqūn: 9)
Penjelasan
Ayat Allah ‘Azza wa Jalla memperingatkan Kaum Mukminin dari perilaku Kaum Munafikin yang melalaikan dzikrullāh karena sibuk memperhatikan, menangani urusan kekayaan, menikmati dan mengembangkannya; juga lantaran kegembiraan mereka terhadap keberadaan anak-anak dan kesibukan memenuhi kebutuhan para buah hati itu[1]. Kesibukan mereka dengan urusan-urusan tersebut mengakibatkan mereka melalaikan dzikrullāh. Dzikrullāh menurut Syekh ‘Abdul Muhsin Al-Abbād ḥafiẓahullāh di sini adalah segala ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla.[2] Allah ‘Azza wa Jalla memberitahukan siapa saja yang terlalaikan dari dzikrullāh karena alasan di atas akan mengalami kerugian yang nyata. Hal ini lantaran orang tersebut telah melenceng dari tujuan penciptaannya untuk menaati dan mengingat (beribadah kepada) Rabbnya.[3]
Mereka mengalami kerugian yang hebat, karena telah memperjualbelikan kenikmatan yang abadi dengan kesenangan yang bersifat fana dan sementara.[4]
Allah ‘Azza wa Jalla melarang jual-beli setelah adzan salat Jumat dengan alasan yang sama, karena akan melalaikan dzikrullāh yang dalam hal ini adalah shalat Jum’at. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (Qs. Al-Jumuah: 9)
Allah ‘Azza wa Jalla menyanjung orang-orang yang tidak terlalaikan oleh kemewahan dunia dari dzikrullāh. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
فِي بُيُوتٍ أَذِنَ اللَّهُ أَنْ تُرْفَعَ وَيُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ۙ يَخَافُونَ يَوْمًا تَتَقَلَّبُ فِيهِ الْقُلُوبُ وَالْأَبْصَارُلِيَجْزِيَهُمُ اللَّهُ أَحْسَنَ مَا عَمِلُوا وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang. Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan membayarkan zakat. Mereka takut pada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (Qs. An-Nūr: 36-38)
Selanjutnya, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلَا أَخَّرْتَنِي إِلَىٰ أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabbku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh.” (Qs. Al-Munāfiqūn: 10)
Pada ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla menghimbau kaum Mukminin untuk berinfak[5]. Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kaum Mukminin untuk mengalokasikan sebagian dari harta kekayaan mereka dalam ketaatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan menginfakkannya di jalan-Nya sebelum kedatangan ajal yang menyebabkan kekayaan menjadi tiada harganya bagi pemiliknya lagi. Perintah ini mencakup infak-infak yang wajib seperti zakat, membayar kaffarāh, menafkahi istri dan budak, juga mencakup infak-infak yang bersifat mustahab seperti berinfak untuk kemaslahatan umat.[6]
Siapapun tidak akan merasakan memiliki harta ketika ia berada dalam kondisi sakaratul maut, karena dirinya terpaku pada dahsyatnya rasa sakit dan ketakutan yang sedang dihadapi. Bahkan ketika dalam kondisi sakit, orang kaya pun tidak merasakan dirinya memiliki kekayaan yang melimpah. Maka, apapun akan diserahkan guna menyelamatkannya dari kondisi yang sulit itu (sakaratul maut). Apapun akan ditebus untuk mengobati penyakitnya. Dari sini sedikit bisa dipahami alasan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam saat menjawab pertanyaan seorang sahabat tentang infak yang paling afdal.
Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan ada seorang lelaki mendatangi Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah sedekah yang paling besar pahalanya?”. Beliau menjawab: “Yaitu engkau bersedekah tatkala merasa sehat lagi bakhil, dan mengakhawatirkan kekurangan serta mengimpikan kecukupan” [HR. Al-Bukhari no. 1419 dan Muslim no. 2382]
Firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu”
Dikatakan Syekh As-Sa’di raḥimahullāh menunjukkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla tidak membebani hamba-Nya dengan infak yang menyulitkan mereka. Sebab mereka hanya diperintahkan untuk mengeluarkan sebagian kecil dari rezeki yang mereka dapat dari Allah ‘Azza wa Jalla . Karena Dialah yang memberikan kemudahan bagi mereka memperoleh rezeki-Nya.[7]
Beliau menambahkan bahwa berinfak termasuk cermin rasa syukur hamba kepada Allah atas rezeki yang diperoleh dari-Nya. Beliau berkata, “Hendaknya mereka bersyukur kepada Dzat yang memberi mereka (rezeki) melalui cara berbagi dengan kaum yang membutuhkan (orang-orang miskin). Hendaknya mereka bersegera melakukannya sebelum kematian mendatangi mereka. Di saat itu, seorang hamba tiada mampu berbuat kebaikan walau sekecil biji zarah sekalipun.[8]
Pada saat kematian datang, jiwa-jiwa penuh dengan penyesalan dan berharap mendapatkan pengunduran waktu ajalnya, -dan ini mustahil- walau sejenak untuk bersedekah dan beramal saleh yang nantinya akan dapat menyelamatkan mereka dari siksa dan memperoleh pahala besar. Namun permintaan dan harapan ini sudah bukan pada tempat dan waktunya lagi dan tidak mungkin mengalami perubahan.
Imam Al-Qurṭubi raḥimahullāh menyampaikan kesimpulan yang menarik dari ayat di atas dengan berkata, “Ayat ini menunjukkan kewajiban menyegerakan pembayaran (penyerahan) zakat dan hukum asalnya tidak boleh menunda-nunda pembayarannya. Demikian juga terhadap seluruh kewajiban ibadah bila telah datang waktunya”.[9]
Di akhir surat, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا ۚ وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan” (Qs. Al-Munāfiqūn: 11)
Maksudnya, Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menangguhkan ajal seseorang dengan memperpanjang usianya saat kematian tiba. Akan tetapi, langsung mengambilnya. Dan Allah ‘Azza wa Jalla Maha Mengetahui amalan seluruh hamba-Nya, Dia meliputi seluruhnya, tidak ada sesuatu un yang tersembunyi bagi-Nya. Allah ‘Azza wa Jalla akan membalas mereka semua, orang baik akan dibalas atas kebaikannya dan orang jelek akan dibalas berdasarkan perbuatan buruknya.[10]
Wallahualam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo]
Catatan Kaki[+]
↑1 | Lihat Tafsir Al-Qurṭubi 18/116, Fatḥul Qadīr 5/327, Fatḥul Bayān fī Maqāṣidul Qur`ān 7/100, Rūḥul Ma’āni 27/431 |
---|---|
↑2 | Min Kunūzil Qur`ānil Karīm Tafsir Ayat Minal Kitābil ‘Azīz 1/321 |
↑3 | Tafsir Ibnu Katsir 3/380 |
↑4 | Lihat Fatḥul Bayān fī Maqāṣidul Qur`ān 7/101 |
↑5 | Tafsir Ibnu Katsir 4/380 |
↑6 | Tafsir As-Sa’di halaman. 865 |
↑7 | Ibid |
↑8 | ibid |
↑9 | Tafsir Al-Qurṭubi 18/116 |
↑10 | Tafsir ath-Thabari 28/133 |