Setiap Amalan Tergantung Niatnya

10 menit waktu membaca

Daftar Isi

Hadis

Dari Amirul Mukminin, Abu Hafsh ‘Umar bin Al-Khattab raḍiyallāhu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”[1]

Penjelasan

Hadis ini menjelaskan bahwa setiap amalan benar-benar tergantung pada niat. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan dari apa yang ia niatkan. Balasannya sangat mulia ketika seseorang berniat ikhlas karena Allah, berbeda dengan seseorang yang berniat beramal hanya karena mengejar dunia seperti karena mengejar wanita. Dalam Hadis disebutkan contoh amalannya yaitu hijrah, ada yang berhijrah karena Allah dan ada yang berhijrah karena mengejar dunia.

Niat secara bahasa berarti al-qaṣd (keinginan). Sedangkan niat secara istilah syar’i, yang dimaksud adalah berazam (bertedak) mengerjakan suatu ibadah ikhlas karena Allah, letak niat dalam batin (hati).

Kalimat “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi, yaitu amalan. Sedangkan kalimat “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, ini dilihat dari sudut pandang al-manwi lahu, yaitu kepada siapakah amalan tersebut ditujukan, ikhlas lillāh ataukah ditujukan kepada selainnya.

Faedah Hadis

1. Dalam Jami’ Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam[2] Hadis ini dikatakan oleh Imam Ahmad sebagai salah satu Hadis pokok dalam agama kita (disebut uṣul al-islam). Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied dalam syarhnya (hlm. 27) menyatakan bahwa Imam Syafi’i mengatakan kalau Hadis ini bisa masuk dalam 70 bab fikih. Ulama lainnya menyatakan bahwa Hadis ini sebagai ṡuluṡul Islam (sepertiganya Islam).

2. Tidak mungkin suatu amalan itu ada kecuali sudah didahului niat. Adapun jika ada amalan yang tanpa niat, maka tidak disebut amalan seperti amalan dari orang yang tertidur dan gila. Sedangkan orang yang berakal tidaklah demikian, setiap beramal pasti sudah memiliki niat. Para ulama mengatakan, “Seandainya Allah membebani suatu amalan tanpa niat, maka itu sama halnya membebani sesuatu yang tidak dimampui.”

3. “Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan”, maksud Hadis ini adalah setiap orang akan memperoleh pahala yang ia niatkan.

Coba perhatikan dua Hadis berikut ini.

Dari Abu Yazid Ma’an bin Yazid bin Al Akhnas raḍiyallāhu ‘anhum, -ia, ayah dan kakeknya termasuk sahabat Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, di mana Ma’an berkata bahwa ayahnya yaitu Yazid pernah mengeluarkan beberapa dinar untuk niatan sedekah. Ayahnya meletakkan uang tersebut di sisi seseorang yang ada di masjid (maksudnya: ayahnya mewakilkan sedekah tadi para orang yang ada di masjid, -pen). Lantas Ma’an pun mengambil uang tadi, lalu ia menemui ayahnya dengan membawa uang dinar tersebut. Kemudian ayah Ma’an (Yazid) berkata, “Sedekah itu sebenarnya bukan kutujukan padamu.” Ma’an pun mengadukan masalah tersebut kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَكَ مَا نَوَيْتَ يَا يَزِيدُ ، وَلَكَ مَا أَخَذْتَ يَا مَعْنُ

Engkau dapati apa yang engkau niatkan wahai Yazid. Sedangkan, wahai Ma’an, engkau boleh mengambil apa yang engkau dapati.”[3]

Hadis di atas menunjukkan bahwa setiap orang akan diganjar sesuai yang ia niatkan walaupun realita yang terjadi ternyata menyelisihi yang ia maksudkan. Termasuk dalam sedekah, meskipun yang menerima sedekah adalah bukan orang yang berhak.

Hadis kedua, ‘Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā berkata bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَغْزُو جَيْشٌ الْكَعْبَةَ ، فَإِذَا كَانُوا بِبَيْدَاءَ مِنَ الأَرْضِ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ. قَالَتْ: قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، وَفِيهِمْ أَسْوَاقُهُمْ وَمَنْ لَيْسَ مِنْهُمْ . قَالَ: يُخْسَفُ بِأَوَّلِهِمْ وَآخِرِهِمْ ، ثُمَّ يُبْعَثُونَ عَلَى نِيَّاتِهِمْ

Akan ada satu kelompok pasukan yang hendak menyerang Ka’bah, kemudian setelah mereka berada di suatu tanah lapang, mereka semuanya dibenamkan ke dalam perut bumi dari orang yang pertama hingga orang yang terakhir.” ‘Aisyah berkata, saya pun bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah semuanya dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, sedangkan di tengah-tengah mereka terdapat para pedagang serta orang-orang yang bukan termasuk golongan mereka (yakni tidak berniat ikut menyerang Ka’bah)?” Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Mereka semuanya akan dibenamkan dari yang pertama sampai yang terakhir, kemudian nantinya mereka akan dibangkitkan sesuai dengan niat mereka.”[4]

4. Niat itu berarti bermaksud dan berkehendak. Letak niat adalah di dalam hati. Ibnu Taimiyah raḥimahullāh mengatakan,

وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.”[5]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah raḥimahullāh menjelaskan, “Siapa saja yang menginginkan melakukan sesuatu, maka secara pasti ia telah berniat. Semisal di hadapannya disodorkan makanan, lalu ia punya keinginan untuk menyantapnya, maka ketika itu pasti ia telah berniat. Demikian ketika ia ingin berkendaraan atau melakukan perbuatan lainnya. Bahkan jika seseorang dibebani suatu amalan lantas dikatakan tidak berniat, maka sungguh ini adalah pembebanan yang mustahil dilakukan. Karena setiap orang yang hendak melakukan suatu amalan yang disyariatkan atau tidak disyariatkan pasti ilmunya telah mendahuluinya dalam hatinya, inilah yang namanya niat.”[6]

5. Niat ada dua macam:

– Niat pada siapakah ditujukan amalan tersebut (al-ma’mul lahu),

– Niat amalan.

Niat jenis pertama adalah niat yang ditujukan untuk mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat. Inilah yang dimaksud dengan niat yang ikhlas.

Sedangkan niat amalan itu ada dua fungsi:

Fungsi pertama adalah untuk membedakan manakah adat (kebiasaan), manakah ibadah. Misalnya adalah puasa. Puasa berarti meninggalkan makan, minum dan pembatal lainnya. Namun terkadang seseorang meninggalkan makan dan minum karena kebiasaan, tanpa ada niat mendekatkan diri pada Allah. Terkadang pula maksudnya adalah ibadah. Oleh karena itu, kedua hal ini perlu dibedakan dengan niat.

Fungsi kedua adalah untuk membedakan satu ibadah dan ibadah lainnya. Ada ibadah yang hukumnya farḍu ‘ain, ada yang farḍu kifāyah, ada yang termasuk rawatib, ada yang niatnya witir, ada yang niatnya sekedar shalat sunnah saja (shalat sunnah mutlak). Semuanya ini dibedakan dengan niat.

6. Hijrah itu berarti meninggalkan. Secara istilah, hijrah adalah berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam. Hijrah itu hukumnya wajib bagi muslim ketika ia tidak mampu menampakkan lagi syiar agamanya di negeri kafir. Hijrah juga bisa berarti berpindah dari maksiat kepada ketaatan.

7. Dalam beramal butuh niat ikhlas. Karena dalam Hadis disebutkan amalan hijrah yang ikhlas dan amalan hijrah yang tujuannya untuk mengejar dunia. Hijrah pertama terpuji, hijrah kedua tercela.

Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa ada seseorang yang ingin melamar seorang wanita. Wanita itu bernama Ummu Qais. Wanita itu enggan untuk menikah dengan pria tersebut, sampai laki-laki itu berhijrah dan akhirnya menikahi Ummu Qais. Maka orang-orang pun menyebutnya Muhajir Ummu Qais. Lantas Ibnu Mas’ud mengatakan, “Siapa yang berhijrah karena sesuatu, maka ia akan mendapatkannya.”[7] Namun tentu hijrah bukan karena lillah, cari ridha-Nya, maka tidak dibalas oleh Allah.

Amalan lainnya sama dengan hijrah, benar dan rusaknya amal tersebut tergantung pada niat. Demikian kata Ibnu Rajab dalam Jami’ Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam, 1:75.

Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu berkata,

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ لِيُجَارِىَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ لِيُمَارِىَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ

Barangsiapa menuntut ilmu hanya ingin digelari ulama, untuk berdebat dengan orang bodoh, supaya dipandang manusia, Allah akan memasukkannya dalam neraka.”[8]

Dari Abu Sa’id Al-Khudri raḍiyallāhu ‘anhu, di mana ia berkata,

خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَنَحْنُ نَتَذَاكَرُ الْمَسِيحَ الدَّجَّالَ فَقَالَ: أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِى مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ. قَالَ قُلْنَا بَلَى. فَقَالَ: الشِّرْكُ الْخَفِىُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ.

“Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah keluar menemui kami dan kami sedang mengingatkan akan (bahaya) Al-Masih Ad Dajjal. Lantas beliau bersabda, “Maukah kukabarkan pada kalian apa yang lebih samar bagi kalian menurutku dibanding dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal?” “Iya”, para sahabat berujar demikian kata Abu Sa’id l- Khudri. Beliau pun bersabda, “Syirik khafi (syirik yang samar) di mana seseorang shalat lalu ia perbagus shalatnya agar dilihat orang lain.”[9]

Bagaimana jika amalan tercampur riya’?

  • Jika riya’ ada dalam semua ibadah, riya’ seperti ini hanya ditemukan pada orang munafik dan orang kafir.
  • Jika ibadah dari awalnya tidak ikhlas, maka ibadahnya tidak sah dan tidak diterima.
  • Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tujukan ibadahnya pada makhluk, maka pada saat ini ibadahnya juga batal.
  • Niat awal dalam ibadahnya ikhlas, namun di pertengahan ia tambahkan dari amalan awalnya tadi kepada selain Allah –misalnya dengan ia perpanjang bacaan qur`annya dari biasanya karena ada temannya-, maka tambahannya ini yang dinilai batal. Namun niat awalnya tetap ada dan tidak batal. Inilah amalan yang tercampur riya.
  • Jika niat awalnya sudah ikhas, namun setelah ia lakukan ibadah muncul pujian dari orang lain tanpa ia cari-cari, maka ini adalah berita gembira berupa kebaikan yang disegerakan bagi orang beriman[10] [11]

8. Manusia diganjar bertingkat-tingkat sesuai dengan tingkatan niatnya. Ada yang sama-sama shalat, namun ganjarannya jauh berbeda. Ada yang sama-sama sedekah, namun pahalanya jauh berbeda karena dilihat dari niatnya. Makanya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menyatakan tentang para sahabat yang hidup bersamanya,

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى ، فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

Janganlah kalian mencela sahabatku. Seandainya salah seorang di antara kalian menginfakkan emas semisal gunung Uhud, maka itu tidak bisa menandingi satu mud infak sahabat, bahkan tidak pula separuhnya.”[12]

Sebagian ulama menyatakan, “Niat itu bertingkat-tingkat. Bertingkat-tingkatnya ganjaran dilihat dari niatnya, bukan dilihat dari puasa atau shalatnya.”[13]

9. Orang yang berniat melakukan amalan shalih namun terhalang melakukannya bisa dibagi menjadi dua:

A- Amalan yang dilakukan sudah menjadi kebiasaan atau rutinitas (rajin untuk dijaga). Lalu amalan ini ditinggalkan karena ada uzur, maka orang seperti ini dicatat mendapat pahala amalan tersebut secara sempurna. Sebagaimana Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

Jika salah seorang sakit atau bersafar, maka ia dicatat mendapat pahala seperti ketika ia dalam keadaan mukim (tidak bersafar) atau ketika sehat.”[14]

Juga kesimpulan dari Hadis berikut.

Dari Jabir, ia berkata, dalam suatu peperangan (perang tabuk) kami pernah bersama Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya di Madinah ada beberapa orang yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (dalam pahala). Padahal mereka tidak ikut berperang karena kedapatan uzur sakit.”[15]

Dalam lafaz lain disebutkan,

إِلاَّ شَرِكُوكُمْ فِى الأَجْرِ

Melainkan mereka yang terhalang sakit akan dicatat ikut serta bersama kalian dalam pahala.”

Juga ada Hadis,

عَنْ أَنَسٍ – رضى الله عنه – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ فِى غَزَاةٍ فَقَالَ: إِنَّ أَقْوَامًا بِالْمَدِينَةِ خَلْفَنَا ، مَا سَلَكْنَا شِعْبًا وَلاَ وَادِيًا إِلاَّ وَهُمْ مَعَنَا فِيهِ ، حَبَسَهُمُ الْعُذْرُ

Dari Anas raḍiyallāhu ‘anhu, bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam suatu peperangan berkata, “Sesungguhnya ada beberapa orang di Madinah yang ditinggalkan tidak ikut peperangan. Namun mereka bersama kita ketika melewati suatu lereng dan lembah. Padahal mereka terhalang uzur sakit ketika itu.”[16]

Contoh dalam hal ini adalah orang yang sudah punya kebiasaan shalat jama’ah di masjid akan tetapi ia memiliki uzur atau halangan seperti karena tertidur atau sakit, maka ia dicatat mendapatkan pahala shalat berjama’ah secara sempurna dan tidak berkurang.

B- Jika amalan tersebut bukan menjadi kebiasaan, maka jika sudah berniat mengamalkannya namun terhalang, akan diperoleh pahala niatnya (saja). Dalilnya adalah seperti Hadis yang kita bahas kali ini. Begitu pula Hadis mengenai seseorang yang diberikan harta lantas ia gunakan dalam hal kebaikan, di mana ada seorang miskin yang berkeinginan yang sama jika ia diberi harta. Orang miskin ini berkata bahwa jika ia diberi harta seperti si fulan, maka ia akan beramal baik semisal dia. Maka Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَهُوَ بِنِيَّتِهِ فَأَجْرُهُمَا سَوَاءٌ

“Ia sesuai niatannya dan akan sama dalam pahala niatnya.”[17]. [18].

Tidak Cukup Niat Ikhlas, Namun Juga Harus Ittiba’

Fudhail bin ‘Iyadh raḥimahullāh mengatakan,

إن العمل إذا كان خالصا ولم يكن صوابا لم يقبل وإذا كان صوابا ولم يكن خالصا لم يقبل حتى يكون خالصا وصوابا فالخالص أن يكون لله والصواب أن يكون على السنة

Yang namanya amalan jika niatannya ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Sama halnya jika amalan tersebut benar namun tidak ikhlas, juga tidak diterima. Amalan tersebut barulah diterima jika ikhlas dan benar. Yang namanya ikhlas, berarti niatannya untuk menggapai ridha Allah saja. Sedangkan disebut benar jika sesuai dengan petunjuk Rasul ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.[19]

Catatan Kaki

Catatan Kaki
1 HR. Bukhari dan Muslim
2 1:61
3 HR. Bukhari: 1422
4 HR. Bukhari: 2118 dan Muslim: 2884, dengan lafal dari Bukhari
5 Majmū’ah Al-Fatāwā, 18:262
6 Majmū’ah Al-Fatāwā, 18:262
7 Jami’ Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam, 1:74-75. Perawinya ṡiqah sebagaimana disebutkan dalam Ṭarh At-Tatsrib, 2:25. Namun Ibnu Rajab tidak menyetujui kalau cerita Ummu Qais jadi landasan asal cerita dari Hadis innamal a’malu bin niyyat yang dibahas
8 HR. Tirmidzi, no. 2654 dan Ibnu Majah, no. 253. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa Hadis ini hasan.
9 HR. Ibnu Majah, no. 4204. Al-Hafiz Abu Ṭahir mengatakan bahwa Hadis ini hasan.
10 tilka ‘ājil busyra lil mu`min, HR. Muslim, no. 2642 dari Abu Dzar raḍiyallāhu ‘anhu
11 Lihat Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Syaikh Shalih Alu Syaikh hlm. 25-27.
12 HR. Bukhari, no. 3673 dan Muslim, no. 2540
13 Jami’ Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam, 1:72
14 HR. Bukhari,no. 2996
15 HR. Muslim, no. 1911
16 HR. Bukhari, no. 2839
17 HR. Tirmidzi no. 2325. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa Hadis ini shahih
18 Lihat pembahasan Syaikh Muhammad bin Ṣolih Al-‘Uṡaimin dalam Syarh Riyadh Aṣ-Ṣalihin, 1:36-37
19 Jami’ Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam, 1:72
Ditulis oleh Ustaz Muhammad Abduh Tuasikal, S.T., M.Sc.
Diambil dari website: mutiaradakwah.com
Print Artikel

Berlanggan Artikel Mutiara Dakwah

Berlangganlah secara gratis untuk mendapatkan email artikel terbaru dari situs ini.

Trending
Facebook
Twitter
Telegram
WhatsApp
Email

Tambahkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait

Pahala Karena Niat Baik Dan Buruk
Muhammad Thalib, MA

Pahala Karena Niat Baik Dan Buruk

Jika seseorang telah berniat melakukan kebaikan, lalu ia tidak jadi melakukannya, apakah ia akan tetap mendapatkan pahala? Jika seseorang telah berniat melakukan keburukan, lalu ia tidak jadi melakukannya, apakah ia

Baca Selengkapnya »
Pahala shalat berjamaah
Muhammad Thalib, MA

Pahala Salat Berjamaah di Masjid

Hadis Abu Hurairah –raḍiyallāhu ‘anhu– berkata, Rasulullah –ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam– bersabda, صَلاَةُ الرَّجُلِ فِي جَماعَةٍ تَزِيدُ عَلَىٰ صَلاَتِهِ فِي بَيْتِهِ وَصَلاتِهِ فِي سُوقِهِ بِضْعاً وَعِشْرِينَ دَرَجَةً؛ وَذلِكَ أَنَّ أَحَدَهُمْ

Baca Selengkapnya »

Apakah Anda Ingin Meningkatkan Bisnis Anda?

Tingkatkan dengan cara beriklan

Formulir anda berhasil dikirim, terimakasih

join mutiara dakwah

Subscribe agar anda mendapatkan artikel terbaru dari situs kami

join mutiara dakwah

Subscribe agar anda mendapatkan artikel terbaru dari situs kami

Hukum Shalat Memakai Masker Saat Pandemi Covid-19 Setiap Amalan Tergantung Niatnya Keutamaan Mempelajari Tafsir Alquran Mengkhatamkan Al-Qur`an Sebulan Sekali Pelajari Adab Sebelum Ilmu Kenapa Kita Harus Belajar Fikih Muamalat? Tata Cara Wudhu Yang Benar Pembagian Tauhid dan Maknanya Hukum Belajar Bahasa Inggris Kisah Rasulullah Hijrah Ke Madinah Mengajak Orang Lain Berbuat Baik, Tapi Lupa Diri Sendiri