Seringkali kita mendengar beberapa istilah-istilah dalam masalah fikih, salah satunya adalah istilah musafir. Namun, siapa itu musafir? Dan kapan seseorang dikatakan musafir?
Dalam melakukan sebuah perjalanan, ada di antara kita sudah mengetahui hak-hak dan keringanan yang dapat dimanfaatkan oleh seorang musafir. Akan tetapi, tidak sedikit pula orang yang tidak mengetahui akan hakikat dirinya sendiri, apakah ia disebut sebagai seorang musafir sehingga ia dapat mengambil keringanan yang telah diberikan kepadanya, ataukah tidak.
Maka dari itu kami ingin menjelaskan siapakah sebenarnya musafir itu? Apakah kita termasuk bagian darinya?
Pengertian Musafir
Musafir diambil dari kata bahasa Arab (سَافَرَ) yang berarti melakukan perjalanan, maka kata musafir disini adalah merupakan isim Fa’il-nya, yakni sebagai subyek (pelaku).
Jika kita jelaskan secara bahasa, maka musafir itu adalah orang yang melakukan perjalanan.
Adapun jika secara syar’i, maka musafir itu adalah orang yang sedang berpergian untuk tujuan tertentu, dan jarak perjalanannya tidak kurang dari 85 KM, serta selama perjalanannya tidak berencana untuk menetap disuatu daerah tertentu lebih dari empat hari.
Jika seorang musafir berencana untuk menetap disuatu daerah tertentu lebih dari empat hari, dan juga jika perjalanannya kurang dari dari 85 KM, maka statusnya bukan lagi sebagai seorang musafir secara fikih.
Akan tetapi, sebagian ulama menyatakan bahwasanya ukuran safar seseorang bisa ditentukan dengan melihat kepada ‘urf (adat atau kebiasaan yang dikenal oleh masyarakat).
Jika masyarakat di suatu daerah menganggap bahwa jarak perjalanan biasa disebut sebagai safar, maka perjalanan tersebut termasuk safar, walaupun dekat. Begitu pula sebaliknya, jika masyarakat di sekitar daerah tersebut menganggap bahwa suatu jarak perjalanan tidak disebut sebagai safar, maka perjalanan tersebut bukanlah safar.
Jika suatu perjalanan tidak disebut sebagai safar, maka keringanan-keringanan seorang musafir pun tidak dapat dia gunakan.
Tentunya seorang musafir memiliki kelebihan dan keistimewaan dalam melaksanakan ibadah, yaitu dia boleh menjamak salatnya (mengerjakan dua salat dalam satu waktu), diberikan keringanan untuk mengqasar salatnya (meringkas salat yang awalnya empat rakaat menjadi dua rakaat), membatalkan puasa wajib, dan juga tidak ikut melaksanakan salat Jumat dengan tetap melaksanakan salat Zuhur.
Perlu digaris bawahi di sini, bahwasanya keringanan ini hanya berlaku dan bisa diambil bagi para musafir yang tujuan perjalanannya bukan untuk bermaksiat kepada Allah.
Jika tujuan safar seseorang adalah untuk sebuah kemaksiatan (walaupun ia seorang muslim), maka secara otomatis keringanan ini hilang.
Syarat-Syarat Seseorang Disebut Musafir
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang sudah dianggap sebagai musafir apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Jarak perjalanannya sekitar 85 KM atau lebih, atau melihat kepada ukuran ‘urf (adat atau kebiasaan yang dikenal oleh masyarakat).
2. Ia tidak berniat untuk menetap lebih dari empat hari.
3. Safarnya tidak memiliki tujuan yang berbau kemaksiatan.
Semoga artikel kali ini tentang “Siapa dan Kapan Seseorang Disebut Musafir?” bermanfaat