Menceritakan aib orang lain tanpa ada hajat sama sekali, inilah yang disebut dengan gibah. Karena gibah artinya membicarakan ‘aib orang lain sedangkan ia tidak ada di saat pembicaraan. Aib yang dibicarakan tersebut, ia tidak suka diketahui oleh orang lain.
Dosa Gibah
Adapun dosa gibah dijelaskan dalam firman Allah Ta’ālā,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang. Jangan pula menggunjing satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”[1]
Asy-Syaukāni raḥimahullāh dalam kitab tafsirnya mengatakan, “Allah Ta’ālā memisalkan gibah (menggunjing orang lain) dengan memakan bangkai seseorang. Karena bangkai sama sekali tidak tahu siapa yang memakan dagingnya. Ini sama halnya dengan orang yang hidup juga tidak mengetahui siapa yang menggunjing dirinya. Demikianlah keterangan dari Az-Zujaj.”
Asy Syaukani raḥimahullāh kembali menjelaskan, “Dalam ayat di atas terkandung isyarat bahwa kehormatan manusia itu sebagaimana dagingnya. Jika daging manusia saja diharamkan untuk dimakan, begitu pula dengan kehormatannya dilarang untuk dilanggar. Ayat ini menjelaskan agar seseorang menjauhi perbuatan gibah. Ayat ini menjelaskan bahwa gibah adalah perbuatan yang teramat jelek. Begitu tercelanya pula orang yang melakukan gibah.”
Adapun yang dimaksud gibah disebutkan dalam hadis berikut,
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ: أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ. قَالَ: ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ. قِيلَ: أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِى أَخِى مَا أَقُولُ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدِ اغْتَبْتَهُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu gibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Gibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).”[2]
Gibah Yang Diperbolehkan
Gibah dan menfitnah (menuduh tanpa bukti) sama-sama keharaman. Namun untuk gibah dibolehkan jika ada tujuan yang syar’i, yaitu dibolehkan dalam enam keadaan sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi raḥimahullāh. Enam keadaan yang dibolehkan menyebutkan aib orang lain adalah sebagai berikut:
1. Mengadu tindak kezaliman kepada penguasa atau pada pihak yang berwenang. Semisal mengatakan, “Si Ahmad telah menzalimiku.”
2. Meminta tolong agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar dan untuk membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. Semisal meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Ahmad telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”
3. Meminta fatwa pada seorang mufti, seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya aku lepas dari kezaliman yang ia lakukan?”
4. Mengingatkan kaum muslimin terhadap suatu kejelekan seperti mengungkap jeleknya hafalan seorang perawi hadis.
5. Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bidah terhadap maksiat atau bidah yang ia lakukan, bukan pada masalah lainnya.
6. Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah makruf dengannya, seperti menyebutnya “si buta”. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik.[3]
Kalau kita perhatikan apa yang dimaksud oleh Imam Nawawi di atas, gibah masih dibolehkan jika ada maslahat dan ada kebutuhan. Misal saja, ada seseorang yang menawarkan diri menjadi pemimpin dan ia membawa misi berbahaya yang sangat tidak menguntungkan bagi kaum muslimin, apalagi ia mendapat backingan dari non muslim dan Rafiḍah [4], maka sudah tentu kaum muslimin diingatkan akan bahayanya. Namun yang diingatkan adalah yang benar ada pada dirinya dan bukanlah menfitnah yaitu menuduh tanpa bukti.
Wallāhu walīyyut taufīq.
Semoga artikel kali ini tentang keadaan-keadaan yang diperbolehkan gibah bermanfaat.