Segala puji hanya kembali dan milik Allah Tabāraka wa Ta’ālā, hidup kita, mati kita hanya untuk menghambakan diri kita kepada Dzat yang tidak membutuhkan sesuatu apapun dari hambanya. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah, Muhammad bin Abdillah ﷺ, beserta keluarga dan para sahabat beliau raḍiyallāhu ‘anhum.
Kedudukan Wudhu Dalam Sholat
Wudhu merupakan suatu hal yang tidak asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad ﷺ? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekuensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi ﷺ. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat[1], yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad ﷺ,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu.”[2]
Demikian juga dalam juga Allah Subḥānahu wa Ta’ālā perintahkan kepada kita dalam Kitab-Nya,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.”[3]
Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari sifat/tata cara wudhu Nabi ﷺ.
Pengertian Wudhu
Secara bahasa wudhu berarti ḥusnu/keindahan dan naẓofah/kebersihan, wudhu untuk sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya[4]. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syariat, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan mencuci empat anggota wudhu[5] dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu yang benar.
Tata Cara Wudhu Secara Global
Adapun tata cara wudhu yang benar berdasarkan hadis Nabi ﷺ dari Humroon budak sahabat Uṡman bin Affan raḍiyallāhu ‘anhu[6],
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا. وَقَالَ: مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Dari Humroon -bekas budak Uṡman bin Affan–, suatu ketika ‘Uṡman memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadah, pent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyāq dan beristinṡar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali saja, pent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, ‘Aku melihat Nabi ﷺ berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau ﷺ mengatakan, “Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuk, ed.) dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu”’[7].
Dari hadis yang mulia ini dan beberapa hadis yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi ﷺ secara ringkas sebagai berikut[8],
1. Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadas.
2. Mengucapkan basmalah.
3. Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
4. Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyāq (memasukkan air ke dalam hidung). Kemudian beristinṡar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
5. Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
6. Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
7. Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam telinga sebanyak 1 kali.
8. Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.
Syarat-Syarat Wudhu[9]
Syekh Dr. Ṣoleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ḥafiẓahullāh menyebutkan syarat wudhu ada tujuh[10], yaitu:
- Islam
- Berakal
- Tamyiz[11]
- Berniat[12] (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut[13], pent.)
- Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang haram
- Telah beristinja’[14] & istijmar[15] terlebih dahulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadas)
- Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit
Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah makruf dikalangan kaum muslimin.
Wajib Wudhu
- Membaca bismillāh ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita ﷺ,
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ
“Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ālā (bismillāh) ketika hendak berwudhu”.[16]
- Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyāq dan istinṡar[17]. Para ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga[*][18].
Adapun yang dimaksud dengan istinsyāq adalah sebagaimana yang dikatakan Al-Hāfiẓ Ibnu Hajar Al-Asqolaniy raḥimahullāh, “Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan istinṡar adalah kebalikannya”[19]. Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah ‘Azza wa Jalla,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah wajah-wajah kalian”.[20]
Sebagaimana dalam ilmu uṣūl fiqh[21], perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekuensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyāq dan istinṡar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadis Nabi ﷺ,
إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ
“Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyāqlah di hidungnya dengan air kemudian beristinṡarlah”.[22]
Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadis Nabi ﷺ,
إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ
“Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah”[23].
Syekh Muhammad Naṣiruddin Al-Albani raḥimahullāh mengatakan, “Cara berkumur-kumur, istinsyāq dan istinṡar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyāq dan istinṡar”.[24]
- Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadis Nabi ﷺ dari sahabat Anas bin Malik raḍiyallāhu ‘anhu,
كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ
وَقَالَ: هَكَذَا أَمَرَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ
“Merupakan kebiasaan (Nabi ﷺ pent.) jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnya, pent) sampai ke tenggorokannya, kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya”. Kemudian beliau mengatakan, “Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku”[25].
Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi ﷺ di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah[26].
- Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Apabila kalian hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah muka-muka kalian dan tangan-tangan kalian sampai dengan siku-siku”.[27]
Demikian juga hadis Nabi ﷺ,
ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا
“Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali.”[28]
- Menyapu[29] kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala[30]. Dalilnya adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ
“Dan sapulah kepalamu”.[31]
Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijmak oleh An-Nawāwi Asy-Syāfi’i raḥimahullāh[32]. Demikian juga sabda Nabi ﷺ,
ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ
“Kemudian beliau mengusap kepala dengan tangannya, (dengan cara, pent.) menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya”[33].
Hadis ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala[34] yang Allah perintahkan dalam surat Al-Māidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadis ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut[35], dan inilah pendapat Al-Imam Malik raḥimahullāh, demikian juga hal ini merupakan pendapat Al-Imam Al-Bukhori raḥimahullāh sebagaimana dalam kitab ṣaḥīhnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ﷺ,
الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ
“Kedua telinga merupakan bagian dari kepala”.[36]
Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ
“kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya”.[37]
Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawāwi Asy-Syafi’i raḥimahullāh, demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i raḥimahullāh sendiri dan dinukil oleh Al-Bukhori raḥimahullāh dalam kitab ṣaḥīhnya dari Sa’id bin Musayyib raḥimahullāh [38].
- Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subḥānahu wa Ta’ālā,
وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“(Basuhlah) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki”.[39]
Demikian juga hadis Nabi ﷺ,
ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
“Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki”[40].
Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafaz/bentuk perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau ﷺ,
إِذَا تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ
“Jika beliau ﷺ berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari kelingkingnya”[41].
Demikian juga pendapat Al-Gozali raḥimahullāh, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al-‘Amir Aṣ-Ṣon’ani raḥimahullāh[42].
- Muwalah
Muwalah[43] adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh, pent.) mengering dalam kondisi/waktu normal[44].
Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subḥānahu wa Ta’ālā,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku”.[45]
Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat ini, pent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan[46]. Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi ﷺ berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnya, pent.) dan hadis Nabi ﷺ yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob raḍiyallāhu ‘anhu.
أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ: ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ. فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى
“Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi ﷺ melihatnya maka Nabi ﷺ mengatakan, “Kembalilah (berwudhu, pent.) perbaguslah wudhumu. Kemudian laki-laki itu kembali lalu sholat”.[47]
Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al-Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dari beliau[48].
Sunnah Wudhu
- Bersiwak[49], hal sebagaimana dalam sabda Nabi ﷺ,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ
“Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak berwudhu”[50].
- Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadis Nabi ﷺ,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ… ثُمَّ قَالَ: رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا
“Dari Humroon budaknya Uṡman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Uṡman, pent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadah, pent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali… kemudian beliau berkata, ‘Aku dahulu melihat Nabi ﷺ berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini’”[51].
Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Uṡman raḍiyallāhu ‘anhu melakukannya karena melihat Nabi ﷺ melakukannya. Semata-mata perbuatan Nabi ﷺ yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[52]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi ﷺ,
وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ
“Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam”.
Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i raḥimahullāh, demikian juga mayoritas ulama[53].
- Bersungguh-sungguh dalam beristinsyāq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang berpuasa[54]. Dalilnya adalah sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,
بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyāq kecuali jika kalian sedang berpuasa”[55].
- Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِى طُهُورِهِ إِذَا تَطَهَّرَ
“Adalah kebiasaan Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam ṭohāroh (berwudhu, pent.)”[56].
- Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi ﷺ membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ
“Sesungguhnya Nabi ﷺ berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyak, pent.) dua kali-dua kali”[57].
Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadis yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Uṡman bin Affan raḍiyallāhu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,
عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ… ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا
“Dari Humroon budaknya Uṡman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Uṡman, pent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadah, pent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kali… kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali…”[58].
Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadis Abdullah bin Zaid raḍiyallāhu ‘anhu di atas yang juga dalam ṣoḥiḥain,
ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً
“Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1 kali”[59].
Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali[60], namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadis yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Uṡman bin Affan raḍiyallāhu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,
وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ هَكَذَا
“Beliau (Uṡman bin Affan, pent.) menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata, ‘Aku melihat Rosulullah ﷺ berwudhu dengan wudhu seperti ini’”[61].
- Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhu, pent.)[62]. Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadis Al-Miqdam bin Ma’dikarib Al-Kindiy raḍiyallāhu ‘anhu,
أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا
“Rasulullah ﷺ melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyāq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam”[63].
- Berdoa ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ
“Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, ‘Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah’ melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau”[64].
At-Tirmiżi menambahkan lafaz,
اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan diri”[65].
- Sholat dua rokaat setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadis Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 rokaat (dengan khusyuk, ked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[66], maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah lalu”[67].
Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan amal dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah amal bagi kita semua. Wallahualam bissawab.
Catatan Kaki[+]
↑1 | Bahkan hal ini diklaim ijma’oleh An-Nawāwi raḥimahullāh [lihat Al-Minhāj Syarḥ Ṣoḥiḥ Muslim oleh An-Nawāwi raḥimahullāh hal. 98/III cetakan Dārul Ma’rifah, Beirut dengan tahqiq dari Syekh Kholil Ma’mun Syihā] |
---|---|
↑2 | HR. Bukhori no. 135, Muslim no. 225 |
↑3 | QS. Al-Māidah: 6 |
↑4 | Lihat Al-Minhāj Syarḥ Ṣoḥiḥ Muslim oleh An-Nawāwi raḥimahullāh hal. 95/III. Hal senada juga dikatakan oleh Al-Hafiẓ Ibnu Hajar Al-Asqolaniy raḥimahullāh dalam Fathul Bāri hal. 214/I |
↑5 | Syekh Muhammad bin Ṣoleh Al-‘Utsaimin raḥimahullāh mengatakan, “Penyebut empat anggota wudhu dalam hal ini hanyalah maksudnya adalah penyebutan sebagian namum yang diinginkan adalah seluruh anggota wudhu”. [lihat Syarḥul Mumti’ ‘ala Zādil Mustaqni’ hal. 110/I, terbitan Al-Kitabul ‘Alimiy, Beirut, Lebanon.] Atau bisa kita katakan sebagai majas part pro toto dalam istilah Bahasa Indonesia |
↑6 | Hadis ini merupakan salah satu hadis pokok dalam masalah tata cara wudhu Nabi ﷺ |
↑7 | HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226 |
↑8 | Lihat Ṣoḥīh Fiqhis Sunnah oleh Abu Mālik Kamāl bin Sayyid Salim hal. 111/I, terbitan Maktabah Tauqifiyah |
↑9 | Kami menempuh cara menulis seperti ini (membedakan mana perkara yang sunnah dan wajib) bukan berarti tidak ingin meniru wudhu Nabi secara menyeluruh, akan tetapi agar amal kita bisa memiliki nilai tambah jika berhadapan dua hal yang sama-sama baik, misalnya hal yang wajib dan sunnah ataupun 2 hal yang sunnah namun salah satu lebih ditekankan. Allāhu A’lam |
↑10 | Lihat Al-Mulakhkhoṣul Fiqhiy hal. 24 oleh Syekh DR. Ṣoleh bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ḥafiẓahullāh cetakan Dār Ibnul Jauziy, Riyadh |
↑11 | Tolak ukur tamyiz adalah sebagaimana yang dikatakan Nabi ﷺ adalah berumur 7 tahun dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 495 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al-Albāni raḥimahullāh dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud. |
↑12 | Yang kami maksudkan dengan niat adalah azam/keinginan yang ada dalam hati untuk berwuhu karena ingin melaksanakan perintah Allah dan RasulNya ﷺ, Ibnu Taimiyah raḥimahullāh mengatakan, “Niat dalam seluruh ibadah tempatnya di hati bukan di lisan dan hal ini telah disepakati para ulama kaum muslimin, semisal dalam ibadah ṭohāroh, sholat, zakat, puasa, haji, membebaskan budak, jihad, dan lain-lain. Seandainya ada seorang yang melafazkan niat dan hal itu berbeda dengan niat yang ada dalam hatinya maka yang menjadi tolak ukur berpahala atau tidaknya amal adalah niat yang ada dalam hatinya bukan yang ada di lisannya”.[lihat Al-Fatawatul Qubro oleh Ibnu Taimiyah, dengan tahqiq Husnain Muhammad Makhluf hal. 87/II, terbitan Darul Ma’rifah, Beirut Lebanon]. yang senada juga dikatakan oleh Al-Imam An-Nawāwi Asy-Syafi’i raḥimahullāh, lihat Qowaid wa Fawāid minal Arba’īn An-Nawāwiyah oleh Syekh Nadzim Muhammad Ṣulṭon hal. 30 cetakan Darul Hijroh, Riyadh, KSA demikian juga beliau isyaratkan dalam Kitabnya At-Tibyan fī Ādabi Hamalatil Qur’ān hal. 50 dengan tahqiq dari Syekh Abu Abdillah Ahmad bin Ibrohim Abul ‘Ainain cetakan Maktabah Ibnu Abbas Kairo, Mesir. Mudah-mudahan dengan penjelasan ringkas ini pembaca bisa memahami defenisi niat yang benar. |
↑13 | Lihat Syarḥul Mumti’ ‘ala Zādil Mustaqni’ hal. 127/I |
↑14 | Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan air. [lihat Syarḥul Mumti’ ‘alā Zādil Mustaqni’ hal. 69/I ] |
↑15 | Membersihkan sesuatu yang keluar dari dua jalur kemaluan dengan tiga buah batu atau dengan selainnya [lihat Manhajus Salikin oleh Syekh Abdurrohman bin Naṣir As-Sa’diy raḥimahullāh hal. 38 cetakan Dārul Waṭon, Riyadh, KSA] |
↑16 | HR. Ibnu Hibban no. 399, At-Tirmiżi no. 26, Abu Dawud no. 101, Al-Hakim no. 7000, Ad-Daruquṭni no. 232. Hadis ini dinilai shohih oleh Al-Albani raḥimahullāh dalam Ṣoḥīḥul Jami’ no. 7514, bahkan Syekh Abu Ishaq Al-Huwainiy membuat satu juz (kitab yang khusus membahas satu hadis) dan beliau menshohihkan hadis ini. Akan tetapi status hadis ini diperselisihkan para ulama di antara yang mendhoifkannya ‘Ali bin Abu Bakr Al-Haiṡami raḥimahullāh dalam Majmu’ Az-Zawaid hal. 780/IX terbitan Dārul Fikr, Beirut dan penulis Ṣoḥīḥ Fiqhis Sunnah dalam takhrij beliau untuk hadis ini. |
↑17 | Lihat Al-Wajiz fi Fiqhil Kitāb Was Sunnah oleh Syekh DR. Abdul Aẓīm bin Badawiy Al-Kholafiy ḥafiẓahullāh hal. 38 Dār Ibnu Rojab Kairo, Mesir. |
↑18 | Lihat Syarḥul Mumti’ ‘alā Zādil Mustaqni’ hal. 131-132/I, dan tambahan dari Ṣoḥīḥ Fiqhis Sunnah hal. 113/I. |
↑19 | Lihat Fathul Bāri hal. 78/X. |
↑20 | QS. Al-Māidah: 6 |
↑21 | Lihat Mandzumah Uṣūlil Fiqh wa Qowā’idih oleh Syekh Muhammad bin Ṣoleh Al-‘Uṡaimin raḥimahullāh hal. 103 cetakan Dār Ibnul Jauziy Riyadh,KSA. |
↑22 | HR. Muslim no. 237. |
↑23 | HR. Abu Dawud no. 144, hadis ini dinyatakan shohih oleh Al-Albani dalam takhrij Beliau untuk Sunan Abu Dawud. |
↑24 | Lihat Aṡ-Ṡamrul Mustaṭob Fī Fiqhis Sunnah Wal Kitāb oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani raḥimahullāh hal. 10/I cetakan Ghiroos, Kuwait. |
↑25 | HR. Abu Dawud no. 145, Al-Baihaqi no. 250 dinyatakan shohih oleh Al-Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 92. |
↑26 | Lihat tanda [*] dalam tulisan ini. |
↑27 | QS Al-Māidah: 6 |
↑28 | HR. Bukhori no. 1934 dan Muslim no. 226. |
↑29 | Perbedaan antara menghapus/menyapu dan membasuh adalah bahwa pada menghapus/menyapu tidak ada mengalirkan air ke tempat yang akan dihapus namun cukup dengan membasahi tangan dengan air dan menyapukan tangan tersebut ke kepala. [Lihat Syarḥul Mumti’ ‘alā Zādil Mustaqni’ hal. 116/I.] |
↑30 | Lihat Al-Wajiz Fī Fiqhil Kitāb Was Sunnah oleh Syekh DR. Abdul Aẓīm bin Badawiy Al-Kholafiy ḥafiẓahullāh hal. 38 Dār Ibnu Rojab Kairo, Mesir. |
↑31 | QS. Al-Māidah: 6 |
↑32 | Lihat Al-Minhāj Syarḥ Ṣoḥīḥ Muslim oleh An-Nawāwi raḥimahullāh hal. 102/III. |
↑33 | HR. Bukhori no. 185, Muslim 235. |
↑34 | Namun merupakan sunnah Nabi ﷺ juga membasuhnya dari arah belakang ke depan. Sebagaimana akan kami cantumkan hadisnya dalam pokok bahasan Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali dalam tulisan ini InsyaAllah Ta’ālā. |
↑35 | Lihat penjelasan masalah ini di Syarḥul Mumti’ ‘alā Zādil Mustaqni’ hal. 117/I. |
↑36 | HR. Abu Dawud no.134, At-Tirmiżi no. 37, Ibnu Majah no. 478, dan lain-lain. Hadis ini dinyatakan shohih oleh Al-Albani raḥmatullāh ‘alaihi dalam Aṣ-Ṣoḥīḥah no. 36. Lihat juga penjelasan tentang takhrij hadis ini dalam Subulus Salām Al-Mausulatu ilā Bulughil Maroom oleh Al-‘Amir Aṣ-Ṣon’ani raḥimahullāh hal. 206/I dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Ṣubhi Hasan Halāq cetakan Dār Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. Di sini muhaqqiq kitab ini menjelaskan panjang lebar tentang hadis ini yang kesimpulannya hadis ini shohih. |
↑37 | HR. An-Nasā`i no. 102, dinyatakan hasan shohih oleh Al-Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Nasā`i. |
↑38 | [lihat Al-Majmu’ oleh An-Nawāwi raḥimahullāh hal. 409/I Asy-Syāmilah]. Dan hal ini sesuai dengan kaidah fiqh keumuman hukum dalam syariat antara laki-laki dan perempuan selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya pada salah satu dari keduanya, [lihat Ma’alim Uṣūlil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah Wal Jamā’ah oleh Syekh DR. Muhammad bin Husain bin Hasan Al-Jaizaniy ḥafiẓahullāh hal. 418, cetakan Dār Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA]. |
↑39 | QS. Al-Māidah: 6 |
↑40 | HR. Bukhori no. 185, Muslim no. 235. |
↑41 | HR. Tirmiżi no. 40, Abu Dawud no. 148, hadis ini dinyatakan shohih oleh Al-Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At-Tirmiżi. |
↑42 | Lihat Subulus Salām Al-Mausulatu ilā Bulughil Maroom oleh Al-‘Amir Aṣ-Ṣon’ani raḥimahullāh hal. 196/I dengan tahqiq dari Syekh Muhammad Ṣubhi Hasan Halāq cetakan Dār Ibnul Jauziy, Riyadh, KSA. |
↑43 | Lihat Ṣoḥīḥ Fiqhis Sunnah hal. 121/I. |
↑44 | Dalam kondisi/waktu normal maksudnya adalah jika tidak ada angin yang berhembus, dalam kondisi cuaca yang sangat panas (sehingga air wudhu dengan cepat mengering), atau sangat dingin. [lihat Syarḥul Mumti’ ‘alā Zādil Mustaqni’ hal. 120/I.] |
↑45 | QS. Al-Māidah: 6 |
↑46 | Lihat Syarḥul Mumti’ ‘alā Zādil Mustaqni’ hal. 119/I. |
↑47 | HR. Muslim no. 243. |
↑48 | Lihat dari Ṣoḥīḥ Fiqhis Sunnah hal. 121/I. |
↑49 | Al-Amir Aṣ-Ṣon’ani raḥimahullāh mengatakan, “Siwak yang dimaksud dalam istilah para ulama adalah penggunaan potongan kayu atau selainnya pada gigi untuk menghilangkan kotoran kuning pada mulut”. [Lihat Subulus Salām Al-Mausulatu ilā Bulughil Maroom hal. 175/I]. |
↑50 | HR. Tirmiżi no. 22, Abu Dawud no. 37, dinilai shohih oleh Al-Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan At-Tirmiżi. |
↑51 | HR. Bukhori no. 164, Muslim no. 226. |
↑52 | Lihat Ma’alim Uṣūlil Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah Wal Jamā’ah hal. 124. |
↑53 | Lihat Tauḍīḥul Aḥkām min Bulughil Maroom oleh Syekh Abdullah Alu Bassām raḥimahullāh hal. 215/I cetakan Maktabah Sawādiy, Mekkah, KSA. |
↑54 | Lihat penjelasan mengapa perintah di sini tidak dimaknai wajib di Tauḍīḥul Aḥkām min Bulughil Maroom hal. 218/I. |
↑55 | HR. Abu Dawud no. 2368, Al-Hakim no. 525 dinyatakan shohih oleh Al-Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud demikian juga Aż-Żahabi. |
↑56 | HR. Bukhori 168, Muslim no. 268. |
↑57 | HR. Bukhori 158. |
↑58 | HR. Bukhori 164, Muslim no. 226. |
↑59 | HR. Bukhori 186. |
↑60 | Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani raḥimahullāh di Aṡ-Ṡamrul Mustaṭob Fī Fiqhis Sunnah Wal Kitāb hal.11/I, demikian juga Syekh DR. Abdul Aẓim bin Badawiy Al-Kholafiy ḥafiẓahullāh Al-Wajiz Fī Fiqhil Kitāb was Sunnah hal. 41. |
↑61 | HR. Abu Dawud no. 107 dan dinyatakan hasan shohih oleh Al-Albani raḥimahullāh dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud. |
↑62 | Lihat Syarḥul Mumti’ ‘alā Zādil Mustaqni’ hal. 118/I. |
↑63 | HR. Abu Dawud no. 121, dinyatakan shohih oleh Al-Albani raḥimahullāh dalam takhrij beliau untuk Sunan Abu Dawud. |
↑64 | HR. Muslim no. 234. |
↑65 | HR. Tirmiżi no. 55 dan dinyatakan shohih oleh Al-Albani dalam takhrij beliau untuk Sunan Tirmiżi. |
↑66 | An-Nawāwi raḥimahullāh mengatakan, “yang dimaksud dengan tidak berbicara diantara keduanya yaitu tidak berbicara dalam masalah dunia yang tidak ada hubungannya dengan sholat”. [lihat Al-Minhāj Syarḥ Ṣoḥīḥ Muslim hal. 103/III] |
↑67 | HR. Bukhori no. 159, Muslim no. 226. |