Perang Fijār
Pada saat Nabi ﷺ berusia 20 tahun, terjadi Perang Fijār antara kabilah Quraisy dan sekutu mereka dari Bani Kinanah melawan kabilah Qais ‘Ailān. Harb bin Umayyah terpilih menjadi komandan perang membawahi kabilah Quraisy dan Kinānah karena faktor usia dan kebangsawanannya. Kemenangan pada pagi hari berada di pihak kabilah Qais, namun pada pertengahan hari keadaan terbalik, kemenangan justru berpihak pada Kinānah.
“Perang Fijār” dinamakan demikian karena mereka telah menodai kesucian bulan haram (bulan yang dilarang berperang di dalamnya).
Dalam perang ini, Rasulullah ikut serta membantu paman-pamannya menyediakan anak panah buat mereka.
Ḥilful Fuḍūl
Setelah Perang Fijār berakhir, terjadilah Ḥilful Fuḍūl (perjanjian kebulatan tekad/sumpah setia) pada bulan Zulqa’dah. Banyak suku Quraisy yang ikut berkumpul pada perjanjian tersebut yaitu Bani Hāsyim, Bani Al-Muṭṭalib, Asad bin Abdul Uzza, Zuhrah bin Kilāb dan Taim bin Murrah. Mereka berkumpul di kediaman Abdullah bin Jad’ān At-Taimi karena faktor usia dan kebangsawanannya. Dalam perjanjian tersebut, mereka bersepakat dan berjanji bahwa apabila ada orang yang dizalimi di Makkah, baik dia penduduk asli maupun pendatang maka mereka akan bergerak membelanya hingga hak orang yang dizalimi tersebut dikembalikan lagi kepadanya. Rasulullah turut menghadiri perjanjian tersebut.
Setelah diutus oleh Allah menjadi Rasul, beliau bersabda, “Sungguh aku telah menghadiri suatu ḥilf (perjanjian) di kediaman Abdullah bin Jad’ān yang lebih aku sukai dari ḥumrun na’am (unta merah yang merupakan harta yang termahal dan menjadi kebanggaan bangsa Arab ketika itu). Andai di dalam Islam aku diminta untuk melakukan hal itu, niscaya aku akan memenuhinya.”
Semangat perjanjian tersebut bertolak-belakang dengan egoisme jahiliyah akibat sikap fanatisme kesukuan. Penyebab terjadinya perjanjian tersebut menurut salah satu versinya adalah ketika ada seorang laki-laki dari kabilah Zubaid yang datang ke Makkah dan membawa barang, kemudian barang tersebut dibeli oleh Al-‘Āṣ bin Wā`’il As-Sahmi namun dia menahan hak orang tersebut. Kemudian orang tersebut meminta bantuan kepada suku-suku yang bersekutu di kota Makkah atas perbuatan Al-‘Āṣ tersebut. Para sekutu ini terdiri dari Bani Abdid Dar, Makhzūm, Jamḥan, Sahm dan ‘Adi, akan tetapi mereka semua tidak mengacuhkannya. Akhirnya, dia naik ke puncak bukit Abi Qubais dan melantungkan syair-syair yang berisi kezaliman yang dialaminya seraya mengencangkan suaranya. Senandungnya tersebut didengar oleh Az-Zubair bin Abdul Muṭṭalib, dan ia langsung menemuinya seraya bertanya-tanya, “Kenapa orang ini tidak diacuhkan?” Tak berapa lama kemudian, berkumpullah kabilah-kabilah yang menyetujui perjanjian Ḥilful Fuḍūl di atas, lantas mereka mendatangi Al-‘Āṣ bin Wā`’il dan merebut hak orang dari suku Zubaid tersebut darinya.
Menapaki Kehidupan Yang Berat
Masa muda Nabi ﷺ dilalui dengan berat. Beliau tidak memiliki pekerjaan tetap, hanya saja banyak riwayat yang menyebutkan bahwa beliau bekerja sebagai penggembala kambing, bahkan menggembalakannya di perkampungan kabilah Bani Sa’ad. Disebutkan juga, bahwa beliau menggembalakan kambing milik penduduk Makkah dengan upah harian sebesar beberapa qirāt (bagian dari uang dinar).
Ketika berusia 25 tahun, beliau pergi berdagang ke negeri Syam dengan modal dari Khadijah.
Ibnu Ishaq berkata, “Khadijah binti Khuwailid adalah seorang saudagar wanita keturunan bangsawan dan kaya-raya. Dia mempekerjakan tenaga laki-laki dengan sistem bagi hasil sebagai keuntungan untuk mereka. Kabilah Quraisy dikenal sebagai saudagara ulung. Tatkala sampai ke telinga Khadijah perihal kejujuran bicara, amanah dan akhlak Rasulullah yang mulia, dia mengutus seseorang untuk menemuinya dan menawarkan kepadanya untuk memperdagangkan harta miliknya ke negeri Syam dengan imbalan terbesar yang pernah diberikan kepada para pedagang lainnya, dengan didampingi seorang budak laki-laki milik Khadijah yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran tersebut dan berangkat dengan barang-barang dagangan Khadijah bersama budak tersebut hingga sampai di negeri Syam.”
Menikah dengan Khadijah
Ketika beliau pulang ke Makkah dari perdagangan di Syam, Khadijah melihat amanah Nabiﷺ dan keberkahan di harta yang diserahkan kepadanya, yang belum pernah didapatinya sebelum itu, ditambah lagi informasi dari budaknya, Maisarah perihal budi pekerti beliau yang demikian manis, sifat-sifat yang mulia, ketajaman berpikir, cara bicara yang jujur dan cara hidup yang penuh amanah, maka dia seakan menemukan apa yang didambakannya selama ini. Padahal, banyak sekali pemuka dan kepala suku yang ingin menikahinya, namun semuanya dia tolak.
Akhirnya dia menyampaikan curahan hatinya kepada teman wanitanya, Nafīsah binti Muniyah. Wanita ini bergegas menemui Nabi ﷺ dan meminta beliau untuk menikahi Khadijah. Beliau pun menyetujuinya dan merundingkan hal tersebut dengan paman-pamannya.
Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamarnya buat beliau. Tak berapa lama setelah itu, pernikahan pun dilangsungkan. Akad tersebut dihadiri oleh Bani Hāsyim dan para pemimpin suku Muḍar. Pernikahan tersebut berlangsung dua bulan setelah kepulangan beliau dari negeri Syam. Beliau menyerahkan mahar sebanyak dua puluh ekor unta muda. Ketika itu, Khadijah sudah berusia 40 tahun. Dia adalah wanita yang paling terhormat nasabnya, paling banyak hartanya dan paling cerdas otaknya di kalangan kaumnya. Dialah wanita pertama yang dinikahi oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah memadunya dengan wanita lain hingga dia wafat.
Semua anak beliau berasal dari pernikahan dengan Khadijah kecuali Ibrahim. Putra-putri beliau dari hasil perkawinan dengannya tersebut adalah: (1) Al-Qāsim (yang menjadi julukan beliau), (2) Zainab, (3) Ruqayyah, (4) Ummu Kulṡum, (5) Fāṭimah, (6) Abdullah yang dijuluki dengan Aṭ-Ṭayyib (yang baik) dan Aṭ-Ṭāhir (yang suci).
Semua putra beliau meninggal dunia di masa kanak-kanak, sedangkan putri-putri beliau semuanya hidup pada masa Islam dan memeluk Islam serta juga ikut berhijrah, namun semuanya meninggal dunia semasa beliau masih hidup kecuali Fathimah yang meninggal dunia enam bulan setelah beliau wafat.
Merenovasi Ka’bah dan Menyelesaikan Pertikaian
Pada saat Nabi ﷺ berusia 35 tahun, kaum Quraisy sepakat merenovasi bangunan Ka’bah yang sudah lapuk di sana sini termakan usia, juga karena pernah ditimpa banjir besar. Karena kedudukan Ka’bah yang sangat agung di mata masyarakat Quraisy, mereka sepakat agar biaya renobasinya hanya diambil dari harta yang halal.
Pada awalnya, bangunan Ka’bah yang lama diruntuhkan, yang dimulai oleh Alwalid bin Al-Mughirah Al-Makhzumi, kemudian diikuti oleh orang lain sampai kondisinya sama dengan pondasi yang dibangun oleh Nabi Ibrahim ‘alaihissalām.
Setelah itu, mereka mulai membagi pembangunan Ka’bah berdasarkan suku masing-masing sehingga setiap mereka telah ditetapkan bagian mana yang akan dibangun.
Ketika pembangunan sampai pada posisi Hajar Aswad, terjadilah pertikaian di antara mereka tentang siapa yang berhak meletakkan Hajar Aswad pada posisi semula. Semua berkeinginan melakukannya karena kemuliaan Hajar Aswad bagi mereka.
Pertentangan terus terjadi dan semakin membesar hingga nyaris terjadi pertumpahan darah di Masjidil Haram. Namun akhirnya Abu Umayyah bin Al-Mughirah Sl-Makhzumi menawarkan usulan agar keputusannya diserahkan kepada orang pertama yang masuk dari pintu mesjid. Merekapun setuju.
Atas kehendak Allah, kalau ternyata orang yang pertama kali masuk adalah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Segera saja mereka berseru, “Itu Al Amin, kami rela dia yang memutuskan. Dia adalah Muhammad.”
Mereka menyampaikan duduk persoalannya kepada beliau ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Maka beliau pun meminta diambilkan selembar kain, lalu Hajar Aswad itu diletakkan di tengahnya, dan beliau meminta para pemimpin kabilah yang bertikai untuk memegang dan mengangkat pinggiran kain tersebut. Ketika posisi batu tersebut sudah berdekatan pada tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkannya di tempat semula.
Karena kekurangan dana, maka suku Quraisy meninggalkan renovasi Ka’bah bagian utara sepanjang 6 hasta, yang dikenal dengan sebutan Hijir Ismail. Bangunan Ka’bah setelah selesai direnovasi memiliki tinggi 15 meter, lebar sisi di bagian Hajar Aswad 10 meter, demikian juga sisi di arah Hijir Ismail. Sementara sisi bagian pintu memiliki Panjang 12 meter, demikian juga sisi sebaliknya. Pintu Ka’bah dibuat dengan ketinggian 1,5 meter dari lantai tawaf.
Sumber: Ar-Raḥīq Al-Makhtūm